Selasa, 21 Maret 2017

Tugas Krustasea



ISI
2.1. Klasifikasi dan Gambar Rajungan (Portunus pelagicus)
            Menurut Mirzads (2009) dalam Jafar (2011), dilihat dari sistematiknya, rajungan dalam gambar  termasuk ke dalam :
Kingdom : Animalia
Filum : Athropoda
Kelas : Crustasea
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Portunus
Species : Portunus pelagicus
 
Rajungan merupakan hewan yang hidup di daerah perairan berpasir. Hal ini diperkuat oleh susanto., etal (2004) yang menyatakan bahwa rajungan dapat hidup pada habitat yang bermacam-macam, antara lain daerah pantai berpasir, daerah muara dan daerah pertambakan yang biasanya bersubstrat lumpur.

2.2.Pembesaran rajungan
Proses budidaya pembesaran rajungan dimuali dari memilih lokasi atau wadah budidaya rajungan, dapat menggunakan keramba atau jaring di daerah sekitar pantai, atau dapat juga dilakukan di kolam tambak buatan untuk pembesaran rajungan. Tambak yang digunakan dalam pembesaran rajungan dibuat mirip seperti habitat aslinya karena habitat rajungan ada pada pantai bersubtrat pasir, pasir berlumpur dan banyak karang atau beri bebatuan untuk pertahanan diri. Ukuran  tambak yang digunakan dalam budidaya rajungan umumnya memiliki luas 50 x 100 meter  dan dapat diisi bibit rajungan sebanyak 10 ribu ekor. Ini berguna menghindari rajungan saling memakan atau loka nan terlalu sempit bagi rajungan bergerak aktif. Tetapi bagi mereka nan terbatas lahannya bisa memanfaatkan alam bebas tetapi bermodalkan jaring. Ukuran jaring pun bisa disesuaikan dengan jumlah bibit rajungan yang akan dibudidayakan. Air dalam tambak perlu dijaga kesegarannya. Rajungan hidup di daerah perairan yang jernih sehingga air tambak memerlukan sirkulasi. sirkulasi air tambak dilakukan sebanyak 5 hari sekali. Hal tersebut juga dimaksudkan agar terhindar dari banyaknya amoniak dari kotoran rajungan itu sendiri. Karena amonika yang dihasilkan dari kotoran rajungan bersifat racun. Apabila air dalam wadah budidaya mengandung amoniak yang berlebihan akan mengakibatkan rajungan kehilangan nafsu makan dan memungkinkan terjadinya gagal panen. Menurut Boyd (1990), amonia di alam berasal dari pupuk, kotoran ikan dan dari pelapukan mikrobial dari senyawa nitrogen. Menurut Anonim, (2004), kandungan amonia air laut untuk biota laut adalah 0,3 mg/L, apabila melebihi 0,3 mg/L maka bersifat toksik terhadap beberapa jenis organisme. Boyd (1990) menyatakan, bahwa kandungan amonia meningkat dalam air menyebabkan ekskresi amonia oleh ikan menurun dan kandungan amonia dalam darah serta jaringan meningkat. Akibat yang timbul adalah pH darah meningkat dan berpengaruh buruk terhadap reaksi katalis enzim serta stabilitas membran. Amonia tinggi di dalam air juga meningkatkan konsumsi oksigen oleh jaringan, merusak insang dan mengurangi kemampuan darah untuk mengangkut oksigen.
Menurut Suharyanto et al., (2008) Persiapan tambak untuk penebaran rajungan sesuai dengan prosedur pembesaran udang windu di tambak. Tahap pertama adalah pembalikan dan pengolahan tanah dasar tambak. Tahap selanjutnya penebaran saponin dengan dosis 10 mg/L untuk memberantas hama. Tahap berikutnya adalah pengeringan selama satu minggu, kemudian dilakukan pengukuran redoks potensial pada tanah pelataran tambak, dan pengapuran dengan dosis 1000 kg/ha. Kemudian tambak diairi dan dipupuk dengan pupuk dasar yaitu 150 kg/ha urea dan 75 kg SP-36/ha dengan dosis perbandingan N : P = 3 : 1 yang dilakukan setelah empat hari.
Pembesaran benih rajungan dapat dilakukan secara polikultur dengan ikan herbivora dalam jaring kantong mendasar, atau dengan ikan karnivora dalam jaring kantong bersusun, atau secara penebaran kembali ke daerah perlindungan laut.
Wadah budidaya yang cocok untuk rajungan adalah jakusar dan hampang. Biasanya kultur rajungan yang dapat dipolikultur dengan ikan yaitu jenis ikan nila (oreochromis nilotica), mujair (O. mossambica), beronang (siganus sp) dan bandeng (chanos chanos).
            Rajungan (portunus pelagicus) cenderung hidup didasar perairan dengan bersembunyi didalam tumbuhan lamun, walaupun sekali-sekali berenang hingga permukaan. Karena itu daerah permukaan yang kosong dapat digunakan oleh ikan yang dipolikultur bersama rajungan. Rajungan adalah hewan karnivora, sehingga makanan lain berupa fitoplankton yang terdapat didalam wadah budidaya tidak dimanfaatkan. Dengan menebar ikan-ikan herbivore/omnivore pakan-pakan tersebut dapat dimanfaatkan.
Benih rajungan berumur 25 hari sudah dapat ditebar dengan kepadatan 5-10 ekor/mᵌ bila rajungan dipolikultur dengan ikan. Ikan (bandeng, beronang, nila, mujair) berukuran 10-12g/ekor ditebar dengan kepadatan 1-3 ekor/mᵌ. Berikan rajungan pakan berupa ikan-ikan rucah secukupnya, pada pagi dan sore hari. Ikan kultur dapat memanfaatkan pakan alami didalam sarana/wadah produksi. Jika ingin mempercepat pertumbuhan ikan, dapat diberikan pakan tambahan 2-3 haari sekali.
Pemeliharaan rajungan berlangsung 3-5 bulan. Rajungan mencapai ukuran lebar kerapas 10-15 cm setelah dipelihara selama 4 bulan, sementara ikan kultur dapat mencapai ukuran 200-300 g/ekor.

2.3. Pemberian Pakan rajungan
Pakan rajungan berupa ikan rucah, yakni ikan-ikan kecil nan sudah diproses pengeringan. Memberikan pakan pada rajungan sebenarnya tak ditebarkan setiap hari, dapat dilakukan 5 hari hingga seminggu sekali. Tetapi mengurangi resiko rajungan saling memakan satu dengan lainnya, maka dapat dilakukan lebih sering. Dan juga semakin inten pemberian pakan mendorong pertumbuhan rajungan sedikit lebih cepat.
Menurut Suharyanto dan Yudhistira (2012) Pemberian pakan untuk budidaya pembesaran rajungan dilakukan tiga kali sehari yaitu pada pagi, siang dan sore hari.Menurut Suharyanto et al., (2008) Pakan yang diberikan untuk pembesaran rajungan adalah cincangan ikan rucah dari jenis ikan tembang (Clupea sp.). Pemberian pakan dilakukan 2 kali sehari yakni pagi 2% dan sore 3% dari total biomas.

Menurut Juwana, (1996) Pakan yang digunakan dalam budidaya rajungan dapat berupa :
Pakan hidup disediakan dalam bentuk nauplii yang baru menetas dan nauplii yang diperkaya dengan pakan buatan berbentuk tepung. Penyediaan nauplii Artemia yang diperkaya dilakukan pada nauplii Artemia yang berumur setengah sampai satu haft. Setengah gram pakan diberikan kepada sekitar satu juta nauplii Artemia dalam dua liter air laut pemeliharaan. Dua jam kemudian nauplii tersebut digunakan sebagai pakan burayak. Sebelumnya nauplii yang telah diperkaya tersebut dicuci dahulu dengan air laut dan dihitung jumlahnya.
Pakan alami disediakan dalam bentuk cacahan kerang hijau dan rebon yang digunakan sebagai pakan tambahan pada pemeliharaan megalopa dan pakan utama pada produksi benih rajungan. Kedua jenis pakan alami tersebut diperoleh dalam keadaan segar dari nelayan setempat. Sebelum disimpan dalam freezer, pakan tersebut dipanaskan selama 30 menit untuk mematikan ensim outolitik yang dapat menyebabkan dekomposisi bahan atau pembusukan daging (BUDZINSKI et al. 1995; CASTELL et al. 1989)
Pakan buatan disediakan dengan bahan dasar tepung kerang hijau dan tepung rebon yang telah diayak dengan saringan 64 mikron (untuk pakan nauplii Artemia) dan 1 mm (untuk pelet juwana rajungan). Komposisi pakan buatan adalah tepung kerang hijau dan tepung rebon dengan perbandingan satu berbanding satu. Sebagai perekat digunakan tepung terigu sam bagian untuk pakan berbentuk pelet, 1/5 bagian untuk pakan berbentuk tepung; dan air dua bagian untuk pelet, satu bagian untuk yang berbentuk tepung. Unsur-unsur lain sama untuk kedua bentuk pakan buatan tersebut, yaitu sekitar 10% 'squid liver oil' dengan tambahan campuran vitamin .
Bahan-bahan pakan tersebut dicampur rata, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas untuk dikukus selama satu jam. Pada waktu masih panas, pakan yang berbentuk pelet dicetak dengan gilingan daging yang mempunyai diameter lubang 2 mm. Selanjutnya pakan ini dikeringkan dalam oven dengan suhu 100C selama delapan jam, kemudian suhu diturunkan sampai 60C selama semalam. Pakan yang telah kering dibungkus dalam wadah termtup dan disimpan dalam refrigerator dengan suhu 11 C.
Rajungan merupakan crustacea yang memiliki sifat kanibalisme Bahkan sifat kanibalisme sudah mulai timbul sejak dari stadia megalopa sampai stadia krablet (Susanto et al.,2005).
Menurut Suharyando dan Yudhistira (2012) Kanibalisme pada umumnya berhubungan dengan genetik dan kebiasaan hidup, dengan perbedaan ukuran yang ada dalam kelompok karena variasi genetik menjadi penyebab utama. Di sisi lain, kebiasaan tersebut ditentukan oleh kondisi lingkungan seperti ketersediaan pakan, tipe makanan, komposisi nutrisi pada pakan, populasi, densitas, intensitas cahaya, adanya naungan dan kejernihan.

2.4. Wadah Pembesaran Rajungan
Persiapan proses pembesaran dari rajungan yakni memilih tempat untuk pembesaran rajungan. Salah satu yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan tempat yaitu mengenai kedalaman air dimana rajungan tersebut akan dibudidayakan dan juga dekat jauhnya lokasi dengan akses pembeli maupun pekerja yang memelihara rajungan. Pembesaran rajungan dapat menggunakan karamba atau jaring yang dipasang di daerah pantai, atau lebih baik menggunakan kolam tambak. Menurut Coleman (1991) dalam Surhayanto et.al., (2008) yang mengatakan bahwa Rajungan merupakan jenis krustase yang bersifat eurihaline dan dasar lumpur berpasir, sehingga cocok dibudidayakan pada perairan tambak.
Kepadatan didalam tambak tersebut harus disesuaikan dengan luasnya lahan atau wadah untuk menghindari terjadinya kanibalisme dan tempat yang terlalu sempit bagi rajungan untuk bergerak aktif. Air dalam tambak perlu dijaga kesegaraannya. Rajungan merupakan hewan laut yang hidup di daerah yang jernih sehinga air tambak memerlukan sirkulasi, agar rajungan mendapatkan habitat hidup yang normal. Menurut Susanto et al., (2005b) dalam Surhayanto et.al., (2008) Masalah utama dalam pemeliharaan rajungan di tambak adalah kanibalisme. Sifat kanibalisme sudah muncul sejak stadia megalopa sampai krablet. Sifat kanibalisme pada budidaya rajungan di tambak menyebabkan tingkat kematiannya sangat tinggi.
Luas tambak yang digunakan untuk pembesaran rajungan harus disesuaikan dengan kepadatan dari rajungan tersebut. Kepadatan yang tidak tepat maka akan menimbulkan kanibalisme atau adanya persaingan dalam mendapatkan pakan. Menurut (Suharyanto & Tahe, 2005) dalam Suharyanto (2008) Penelitian rajungan di tambak yang sudah dilakukan, menunjukkan bahwa kepadatan optimum untuk budidaya rajungan adalah 1--3 ind./m2  Adanya pemberian selter diharapkan mampu menurunkan tingkat kanibalisme. Penggunaan selter berbahan waring hitam pada panti pembenihan rajungan sudah lama digunakan dan mampu menekan tingkat kanibalisme (Susanto et al., 2005b) dalam (Surhayanto et.al., 2008).

2.5.       Kualitas Media Hidup yang Dibutuhkan untuk Pembesaran Rajungan
Rajungan (Portunus pelagicus) hampir sama seperti komoditas budidaya akuakultur lainnnya yang memiliki kriteria khusus pada kualitas media hidupnya. Kualitas media hidup rajungan dapat diamati dari beberapa parameter seperti parameter fisika air, kimia air, maupun biologi. Faktor penting parameter fisika dari budidaya rajungan yaitu kadar salinitas dan suhu air pada wadah budidaya. Pada dasarnya, toleransi salinitas rajungan cukup lebar yakni dapat hidup pada salinitas 9-39 ppt sehingga rajungan bersifat “eurihaline”. Menurut Suharyanto (2008), salinitas optimal untuk pertumbuhan kepiting rajungan adalah 30-31 ppt. Nilai salinitas yang optimal merupakan salah satu faktor penentu dalam pertumbuhan dan sintasan rajungan yang dibesarkan di budidaya. Salinitas dapat diamati secara langsung dengan menggunakan refraktometer.
Tingkat salinitas yang tidak sesuai dengan rajungan akan berpengaruh pada pertumbuhan yang terhambat. Hal ini diperkuat oleh Suharyanto dan Tahe (2007), yang menyatakan bahwa peningkatan salinitas yang cukup tinggi yakni mencapai 40-56 ppt menyebabkan tidak terjadi pertumbuhan karena energi yang dibutuhkan hanya untuk mempertahankan diri dari perubahan salinitas. Proses aklimatisasi rajungan secara sempurna sebelum ditebar ke tambak juga dapat mempengaruhi peningkatan laju pertumbuhan baik lebar karapas maupun bobot rajungan. Hal ini disebabkan rajungan yang tidak mengalami stres akibat perubahan salinitas secara mendadak.
Suhu air memegang peranan penting di dalam pengaturan metabolisme tubuh rajungan. Rajungan termasuk hewan yang memiliki sifat “poikilotermal” sehingga keadaan metabolismenya hanya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dikarenakan ketidakmampuannya mengatur suhu tubuhnya sendiri. Jika terjadi kenaikan suhu melebihi suhu optimal dari rajungan, maka rajungan akan mengalami thermal stress. Menurut Meng et al. (2014), ketika terjadi thermal stress maka hewan poikilotermal akan mulai beradaptasi menyesuaikan diri dengan mengubah metabolisme sel serta mengaktifkan mekanisme pelindung seperti sistem pertahanan antioksidan dan respon panas (heat shock response) sehingga dapat mempertahankan keadaan tubuh secara konstan (homeostasis). Ketika rajungan terpapar suhu yang melampaui batas toleransi, hal tersebut akan menyebabkan kerusakan jaringan dan sel yang berujung pada mortalitas. Suhu yang terlalu rendah akan meningkatkan produksi radikal bebas (ROS / Reactive Oxygen Species) sehingga molekul biologis penting seperti lemak, protein, dan DNA rusak. Suhu optimal yang sesuai untuk pembesaran rajungan adalah berkisar antara 26,5-30,9°C.
Kadar oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu faktor terpenting dalam manajemen kualitas media di parameter kimia air. Oksigen terlarut harus terjaga dan berkisar antara 2,1-7,8 mg/L. Penurunan konsentrasi oksigen terlarut terjadi pada malam hari, mencapai titik terendah yakni 2,1 mg/L. Hal ini disebabkan tidak adanya matahari, maka menyebabkan proses fotosintesis fitoplankton dan rumput laut tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga oksigen menurun. Namun demikian, oksigen terlarut masih menunjukkan kriteria yang aman. Hal ini diperkuat oleh Suharyanto dan Tahe (2007), yang menyatakan bahwa menurunnya salinitas akibat adanya hujan dan dengan tidak adanya matahari, akan menyebabkan proses fotosintesis fitoplankton tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga oksigen menurun.
Pada perairan media hidup rajungan, pH air mempunyai arti yang cukup penting untuk mendeteksi potensi produktifitas media hidupnya. Air yang agak basa, dapat mendorong proses pembongkaran bahan organik dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat diasimilasikan oleh fitoplankton (garam amonia dan nitrat). Pada perairan yang tidak mengandung bahan organik dengan cukup, maka mineral dalam air tidak akan ditemukan. Untuk menciptakan lingkungan air yang baik, pH air itu sendiri harus stabil dan tidak mudah berubah. Menurut Setyadi dan Susanto (2009), bahwa nilai pH yang sesuai untuk kehidupan organisma adalah 6,5-9,5, namun nilai optimal untuk budidaya rajungan adalah pH 8,00-8,50.
Kandungan nitrit yang ada juga harus diseimbangkan oleh jumlah fitoplankton sebagai pengurainya. Kandungan nitrit (NO2–N) yang tinggi dalam perairan biasanya disebabkan karena tidak termanfaatkannya nitrit tersebut oleh fitoplankton diakibatkan kurangnya sinar matahari yang masuk ke dalam bak-bak penelitian, sehingga proses fotosistesis terganggu. Padahal, unsur nitrogen dalam suatu perairan merupakan unsur penting dalam prores pembentukan protoplasma. Hasil pengukuran unsur-unsur tersebut menunjukkan bahwa kandungan nitrogen masih dalam batas-batas kewajaran. Konsentrasi nitrit sebesar 0,1 mg/L dapat menyebabkan stres pada organisme akuatik bahkan dapat menyebabkan kematian.
 Pengukuran fosfat (PO4–P) dalam media hidup rajungan diperlukan agar dapat mengetahui apakah air yang digunakan untuk budidaya terindikasi tercemar oleh polusi air atau tidak. Batas terendah PO4–P yang dibutuhkan adalah 0,018-0,090 mg/L; sedangkan untuk pertumbuhan yang optimum adalah 0,09-1,80 mg/L. Pengukuran fosfat dapat dilakukan di laboratorium menggunakan spektofotometer.
Bahan organik total (BOT) di perairan dapat berupa bahan organik hidup (Seston) dan bahan organik mati (tripton dan detritus). Bahan organik terlarut bukan hanya sebagai sumber energi, tetapi juga sebagai sumber bahan organik essensial bagi organisme perairan. Perairan dengan kandungan bahan organik total di atas 26 mg/L adalah tergolong perairan yang subur. Hal ini diperkuat oleh Suharyanto et al. (2008), yang menyatakan bahwa hal ini penting dikarenakan pada pagi hari banyak kepiting rajungan yang bersembunyi dibalik selter selter waring sambil memakan organisme penempel yang terdapat pada selter tersebut. Kandungan NH4–N, NO2–N, NO3–N, PO4–P, pH, dan BOT, dapat diukur setiap dua minggu sekali dengan mengambil sampel air 500 mL setiap perlakuan, dibawa ke laboratorium dan disaring selanjutnya diamati dengan menggunakan spektofotometer.

2.6.       Masalah, Kendala dan Penyakit yang dapat Muncul pada Pembesaran Rajungan
Prospek akuakultur rajungan cukup besar namun kendala-kendala teknis hingga saat ini masih menghambat kesuksesan dalam akuakultur.
Secara umum permasalahan dan kendala dalam budidaya rajungan ini adalah termasuk usaha budidaya yang relatif baru, masih adanya ketidakpastian dalam model bisnis, terdapat kompetisi penggunaan ruang dengan budidaya udang, cost production yang tidak menentu, penanganan yang dirasakan lebih sulit sehingga membutuhkan tenaga kerja yang tinggi, ketersediaan benih untuk pembesaran di alam yang tidak pasti, ketersediaan pakan pembesaran yang murah dan kelangsungan hidup yang rendah akibat kanibalisme.
Masalah tingkat kanibalisme yang cukup tinggi baik dari stadia megalopa sampai stadia krablet merupakan masalah terbesar didalam usaha budidaya rajungan. Ada sebuah penelitian yang menyatakan bahwa akibat kanibalisme, sintasan hidup (survival rate) rajungan yang dibudidayakan di tambak hanya mencapai 10,6%. Kanibalisme pada umumnya berhubungan dengan genetik dan kebiasaan hidup. Perbedaan ukuran yang ada dalam kelompok karena variasi genetik menjadi penyebab utama. Di sisi lain kebiasaan tersebut ditentukan oleh kondisi lingkungan seperti ketersediaan pakan, tipe pakan, komposisi nutrisi pada pakan, populasi, densitas, intensitas cahaya, adanya naungan dan kejernihan. Menurut Suharyanto et al. (2008), metode meminimasi kanibalisme diantaranya adalah dengan memanipulasi tingkat kekenyangan, frekuensi pemberian pakan yang optimal, distribusi pakan, penentuan jenis pakan yang disukai. Salah satu cara untuk memanipulasi tingkat kekenyangan rajungan adalah dengan pemberian suplemen triptofan (salah satu asam amino esensial).
 Terdapat beberapa parasit yang dapat menyerang rajungan. Beberapa parasit yang paling dominan menyerang rajungan adalah Chelonibia patula dan Octolasmis spp. Kedua parasit tersebut termasuk ektoparasit yang hidup secara parasit pada tubuh lain ini hidup dipermukaan bagian luar tubuh atau bagian-bagian lain yang mudah di jangkau dari luar. Meskipun, terdapat parasit lain yang dapat menyerang rajungan. Menurut Shields (1992), beberapa parasit dan simbion yang ditemukan pada Portunus pelagicus adalah Operculariella sp., Acineta sp., Thelohania sp., Nematopsis sp., Ameson sp., Hematodinium sp., Planoceroid turbellarian, Levinseniella sp., Polypocephalus moretonensis, Tetraphyllid cestode, Carcinonemertes mitsukurii, Choniosphaera indica, Sacculina granifera, Octolasmis spp., dan Chelonibia patula.
Spesies Octolasmis hidup di ruang insang inang mereka dengan menancap pada lembar insang dan sering ditemukan dalam jumlah besar. Dengan demikian, mereka menempati ruang pada insang yang biasanya tersedia untuk respirasi Kondisi ini dapat mengakibatkan inang menjadi lemah bahkan bisa mati. Octolasmis spp. tumbuh bersama dengan rajungan ketika kondisi intermolt and premolt. Menurut Praptiasih (2010), pada seekor rajungan (Portunus pelagicus) biasanya dapat ditemukan hingga lima species Octolasmis tetapi hanya dua spesies yang diketahui menetap pada rajungan yaitu Octolasmis angulata and Octolasmis warwickii.
 Octolasmis angulata ditemukan menempel pada  kutikula dinding bagian dalam dinding ruang anterior pada lapisan epibranchial dan pada lembar insang. Octolasmis warwickii selalu menempel pada bagian eksternal karapas, antenna, bagian proksimal kaki jalan, kadang ditemukan juga pada bagian perut. Biasanya pada bagian dorsal carapace, ditemukan sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil, dan kadang-kadang menancap pada dasar anggota tubuh. Octolasmis spp. akan menangkap, menelan, mencerna, dan menyimpan cadangan makanan rajungan yang menjadi inangnya.
Parasit Chelonibia patula merupakan salah satu jenis parasit metazoa (lebih dari satu sel) yang tergolong dalam kelompok crustaceans yang banyak menyerang rajungan pada bagian karapaks, kaki jalan, maupun kaki renang. Umumnya parasit ini tidak sulit untuk diidentifikasi karena dapat dilihat dengan mata telanjang. Parasit ini ditemukan menempel pada rajungan, karena lebih banyak mendapatkan cahaya untuk proses perkembangannya. Selain itu, pada karapaks juga memiliki permukaan biologis aktif yang terbuat dari kitin, kalsium serta lapisan mikroba yang lebih menarik jika dibandingkan dengan substrat lain yang tidak hidup. Parasit ini tidak ditemukan pada permukaan ventral karena diduga akibat pengendapan kepiting ketika berjalan disepanjang dasar laut. Infeksi Chelonibia patula pada kepiting dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan sebab akan mempengaruhi proses molting dan mengurangi nilai komersial dari kepiting karena penurunan berat badan serta secara estetika dapat mempengaruhi nilai jual kepiting tersebut. Menurut Bakir et al. (2010), Chelonibia patula merupakan spesies yang mudah beradaptasi pada lingkungan dan dapat ditemukan pada penyu, rajungan, gastropoda, dan dugong.
Sacculina granifera merupakan salah satu parasit rajungan yang termasuk ke dalam kelompok krustasea.  S. granifera yang menempel di dalam organ tubuh rajungan akan menghambat proses molting. Selain itu, rajungan jantan yang terjangkit oleh S. granifera akan mengalami perubahan ciri layaknya betina, misalnya perubahan warna karapaks dari biru berbintik menjadi coklat. Hal ini tidak berpengaruh pada rajungan betina. Menurut Phillips dan Cannon (1978), parasit S. granifera akan menyerang rajungan yang belum dewasa dan mengubah proses pematangan mereka ketika dewasa. Hal ini tentu merugikan pada usaha budidaya rajungan karena dapat menyebabkan kelangkaan induk rajungan jantan.
Salah satu parameter penunjang keberhasilan budidaya adalah kondisi bakteriologis di dalam perairan. Bakteri yang lazim diamati sebagai parameter penilaian kualitas perairan adalah kelompok bakteri coli, heterotrofik dan bakteri patogen. Dalam penilaian kualitas perairan, semakin banyak jumlah bakteri koli dan bakteri patogen yang terdapat pada perairan budidaya maka dapat menyebabkan kematian benih secara massal dan turunnya kualitas paska panen. Menurut Sutiknowati (2013), Pseudomonas dan Aeromonas dapat menyebabkan kematian rajungan (Portunus pelagicus) maupun yang lainnya yaitu Callinectes sapidus, namun hal ini dapat dihindari dengan metode air mengalir dan pemberian desinfektan. Sementara itu, penurunan kualitas perairan terus terjadi dan perlu mendapat perhatian, terlebih lagi adanya berbagai jenis mikroba di dalam perairan. Pengetahuan mengenai mikroba yang menunjang keberhasilan budidaya harus terus dikaji sehingga tidak menggangu usaha budidaya rajungan.
Mungkin masih terdapat banyak permasalahan namun upaya untuk mengatasi terus dikembangkan. Riset dan pengembangan spesies ini di masa depan akan sangat berguna bagi kesempurnaan teknik pembenihan dan pembesaran sehingga bisa diaplikasikan oleh masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Baku Mutu Air Laut. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. No. 51 Tahun 2004. 11 hal.
Bakir, K., T. Özcan, dan T. Kataǧan. 2010. On the Occurrence of Chelonibia patula (Cirripedia) on the Coasts of Turkey. Marine Biodiversity Records. 3: 1-2.
Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Departement of Fisheries and Allied Aquacultures. Alabama Agricultural Experiment Station. Auburn University. Alabama. 480 pp.
Castell, J.D.; J.C. Kean; D.G.C. Mc Cann; A.D. Boghen; D.E. Conklin And L.R.
D'abramo . 1986. A standard reference diet for crustacean nutrition research II. Selection of a purification procedure for production of the rock crab protein ingredient. J. World Aqua. Soc. 20 (3): 100 - 106.
Hastuti S., Arifin S., Hidayati D., 2012. Pemanfaatan limbah cangkakng rajungan sebagai perisa makanan alami. Agrointek 6(2)
Jafar, Lisda. 2011. Perikanan Rajungan Di Desa Mattiro Bombang (Pulau Salemo, Sabangko Dan Sagara) Kabupaten Pangkep. Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Juwana, Sri. 1996. Studi Pendahuluan Tentang Peranan Pakan Buatan Dalam Budidaya Rajungan, Portunus Pelagicus (Portunidae, Decapoda). Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 1996 No. 29:1-13.
Meng, X. L., P. Liu, J. Li, B. Q. Gao, dan P. Chen. 2014. Physiological Responses of Swimming Crab Portunus trituberculatus under Cold Acclimation: Antioxidant Defense and Heat Shock Proteins. Aquaculture. 434: 11-17.
Phillips, W. J., dan L. R. G. Cannon. 1978. Ecological Observations on the Commercial Sand Crab, Portunus pelagicus (L.) and Its Parasite, Sacculina granifera Boschma, 1973 (Cirripedia: Rhizocephala). Journal of Fish Diseases. 1 (2): 137-149.
Praptiasih, I. 2010. Mengenal Octolasmis, Parasit Leher Angsa pada Crustacea. Info Karikan. 7 (1): 28-33.
Setyadi i., suasnto b., syahidah d., 2005.Pengaruh salinitas air terhadap sintasan zoea rajungan (Portunus pelagicus). Jurnal perikanan . VII(1):60-64
Setyadi, I., dan B. Susanto. 2009. Pemacuan Kematangan Gonad Induk Rajungan (Portunus pelagicus) dengan Sumber Pakan yang Berbeda. Neptunus. 15 (2): 1-7.
Shields, J. D. 1992. Parasites and Symbionts of the Crab Portunus pelagicus from Moreton Bay, Eastern Australia. Journal of Crustacean Biology. 12 (1): 94-100.
Suharyanto dan S. Tahe. 2005a. Pendederan benih kepiting rajungan (Portunus pelagicus) dalam keramba jaring apung di perairan Pulau Salemo Pangkep dengan padat penebaran berbeda. Torani. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. 3(16): 216 – 222.
Suharyanto, dan S. Tahe. 2007. Pengaruh Padat Tebar Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Rajungan (Portunus pelagicus) di Tambak. Jurnal Riset Akuakultur. 2 (1): 19-25.
Suharyanto.,S.Tahe dan Sulaeman.2008.pengaruh padat tebar selter rumput laut (gracillaria sp) terhadap pertumbuhan dan sintasan rajungan (portunus pelagicus) di tambak.10(2):290-299
Suharyanto. 2008. Polikultur Rajungan, Udang Vanamei, Ikan Bandeng, dan Rumput Laut di Tambak. Media Akuakultur. 3 (2): 107-113.
Suharyanto, Y. Aryati, dan S. Tahe. 2008. Upaya Penurunan Tingkat Kanibalisme Rajungan (Portunus pelagicus) dengan Pemberian Suplemen Triptofan. Jurnal Perikanan. 10 (1): 126-133.
Suharyanto, dan D. I. Yudhistira. 2012. Aplikasi Triptofan Dan Glisin Dalam Pakan Rucah Serta Pengaruhnya Terhadap Tingkat Kanibalisme, Pertumbuhan Dan Sintasan Krablet Kepiting Bakau (Scyla serrata). Jurnal Perikanan., XIV(1):1-19.
Suharyanto, S. Tahe, dan Sulaeman.  Pengaruh Padat Tebar Selter Rumput Laut (Gracillaria sp) terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Rajungan (Portunus pelagicus) di Tambak. Jurnal Perikanan., X(2):290-299.
Susanto, B. 2005. Pengembangan Teknologi Perbenihan Rajungan (Portunus pelagicus). Makalah disampaikan pada seminar Akuakultur Indonesia. Hotel Sahid Jaya, Makassar. 23-25 Nopember 2005. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut. 6 hal.
Susanto, B., M. Marzuqi, I. Styadi, D. Syahidah, G.N. Permana dan Haryanti. 2004. Pengamatan aspek biologi rajungan (Portunus pelagicus), dalam menunjang teknik perbenihannya. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. 10 (1) : 6-11.
Sutiknowati, L. I. 2013. Mikroba Parameter Kualitas Perairan Pulau Pari untuk Upaya Pembesaran Biota Budidaya. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 5 (1): 204-218.
Udzinski, E.; P. Bykowski And D. Dutkiewicz .1985. Possibilities of processing and marketing of products made from Antartic krill. FAO fish. Tech. Pap. 268 : 46 pp.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar