PEMBAHASAN
2.1.Potensi Abalon
Di Indonesia, produksi abalon lebih banyak diperoleh
dari tangkapan, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya pengambilan
yang secara berlebihan. Dimana abalon ini memiliki pertumbuhan yang sangat
lambat, sehingga akan menimbulkan kelangkaan yang berakibat pada kepunahan.
Oleh karena itu perlu adanya usaha untuk memelihara kerang abalon dalam
lingkungan buatan yang terkontrol, serta menjadikan abalon komoditas budidaya
yang dapat dikomersilkan menjadi usaha yang menguntungkan. Selama ini abalone didapatkan dari penangkapan alam
dan hanya sebagian kecil dari produksi budidaya, meningkatnya kebutuhan akan
komoditas abalone pada akhir - akhir ini memicu perkembangan budidaya abalone.
Produksi dari kebanyakan budidaya abalone tergantung induk yang diambil dari
alam, dimana induk abalone ini perlu adaptasi tinggi dari alam ke area
budidaya. Sehingga dalam pemeliharaannya banyak kendala yaitu kematian massal.
Salah satu penyebab adanya kematian massal ini adalah kualitas air media yang
kurang bagus. Oleh karena itu dalam kegiatan budidaya abalone (pemeliharaan
induk) tersebut dibutuhkan air laut yang benar benar bersih bebas dari partikel
dan pathogen
Abalon merupakan kelompok moluska laut
yang lebih dikenal sebagai “kerang mata tujuh”. Ablon memiliki nilai ekonomis
yang tinggi karena abalon memiliki bentuk dan warna yang indah. Selain
dagingnya, cangkang abalone juga dapat dimanfaatkan pada industri kancing
perhiasan dan barang kerajinan lainnya. Menurut Adimulya et,al (2016) Abalon menjadi salah satu produk perikanan laut yang
memiliki nilai ekonomis. Pangsa pasar abalon tidak hanya terbatas di dalam
negeri namun juga di luar negeri. Permintaan komoditas abalon di pasar
internasional terus mengalami peningkatan. Peningkatan permintaan abalon
biasanya selalu diikuti dengan peningkatan harga. Selain itu, tingginya harga
abalon juga disebabkan oleh terbatasnya volume produksi. Upaya
pembenihan abalon telah dilakukan untuk mendukung kegiatan budidaya. Namun
produksi benih yang dihasilkan di balai benih masih dalam skala kecil dengan
tingkat keberhasilan 0,5-2 % dalam satu siklus pemijahan.
Abalon merupakan salah
satu kerang yang menjadi kultivan budidaya yang berpotensi karena pada dasarnya
permintaan pasar dari abalone sangat tinggi akan tetapi masih mengandalkan
hasil tangkapan dari alam, sehingga perlu adanya pengembangan dalam budidaya abalone agar dapat memenuhi
permintaan. Menurut Humaida et.al
(2014) Permintaan komoditas ini di negara negara seperti Cina, Taiwan, dan Korea
semakin meningkat. Namun untuk memenuhi permintaan tersebut sebagian masih dari
alam sehingga menyebabkan populasi abalon di alam mengalami penurunan hingga
mencapai 30% dari populasinya. Demi menjamin ketersediaan stok abalon
diperlukan adanya suatu usaha pengembangan teknik budidaya, karena abalon
sangat berpotensi untuk dibudidayakan dan diharapkan dapat memenuhi permintaan
pasar yang terus meningkat setiap tahun menjadi salah satu penyebab tingginya
angka eksploitasi terhadap abalon. Sehingga kegiatan budidaya perlu
dikembangkan secara intensif untuk memenuhi permintaan pasar yang terus
meningkat. Salah satu teknik budidaya saat ini yang dikembangkan adalah dengan
menggunakan prinsip-prinsip budidaya secara intensif, dimana lahan yang
digunakan terbatas, pemberian pakan yang teratur, dan mudahnya dilakukan
kontrol terhadap lingkungan, sistem budidaya tersebut dikenal dengan budidaya
keranjang atau karamba tancap.
Di indonesia terdapat
tujuh spesies, yaitu H. asinina, H.
varia, H. squamosa, H. ovina, H. glabra, H. planata, dan H. crebrisculpta. H. asinina, H. ovina, H. squamata dan H. varia merupakan jenis abalon tropis yang terdapat di
Indonesia yang telah memiliki pasar internasional, terutama China, Taiwan, dan
Korea. Bukan hanya di Indonesia, persebaran spesies-spesies tersebut
cukup besar, yaitu mencapai perairan Indo-Malay, bagian timur samudera
Hindia dan Barat Samudera Pasifik. Namun, dari keempat jenis abalon
tersebut, jenis H.
asinina dan H. squamata merupakan yang paling banyak ditemukan di
perairan Indonesia. Kelebihan H.
asinina dibading H. ovina dan H. varia adalah karena
proporsi dagingnya lebih besar, yaitu H. asinina 85%, H.
ovina 40%, dan H. varia 30%
(Praipue et al., 2010).
Abalon adalah salah satu komoditas perikanan yang
langka dan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Kebutuhan dunia akan bahan makanan dan
variasi protein baru menjadi penyebabnya. Peningkatan kebutuhan dunia terhadap
abalon dalam dua dasawarsa terakhir telah memicu perkembangan budidayanya di
berbagai negara seperti Jepang, Taiwan, Amerika Serikat dan Australia (Azlan et al., 2013). Abalone memiliki nlai jual yang tinggi
karena di salah satu restoran dan hotel mewah di Jakarta abalone dalam sajian
makanan mencapai harga Rp. 1.500.000.-/ porsi. Abalone dalam bentuk hidup dapat
mencapai harga Rp.200.000,-/kg, jenis lainnya seperti jenis H. supertextra atau
H. squamatadapat lebih mahal hingga mencapai Rp. 600.000,-/kg
Susanto et.al (2010) .
Tingginya
permintaan juga dapat dikarenakan abalone memiliki nilai gizi yang tinggi.
Menurut Litaay et.al (2017) Abalon
tropis H. asinina L. merupakan salah satu gastropoda yang banyak
dibudidayakan karena nilai protein yang tinggi dan kandungan kolestrol yang
rendah. Kandungan nutrisi yang sangat baik untuk kesehatan membuat nilai
ekonomis H. asinina L. meningkat. Nilai ekonomis H. asinina yang
tinggi memberi pengaruh besar bagi yang mengkonsumsinya. Selain nilai ekonomis
dan protein yang tinggi H. asinine L. memiliki senyawa metabolit
sekunder yang dapat digunakan sebagai bahan antimikroba.
Menurut Nurfajri, et
al., (2014) daging abalon (Haliotis asinina) mempunyai gizi yang cukup
tinggi dengan kandungan protein 71,99%; lemak 3,2%; serat 5,60%; abu 11,11% dan
kadar air 0,60% serta cangkangnya mempunyai nilai estetika yang dapat digunakan
untuk perhiasan, pembuatan kancing baju dan berbagai bentuk barang kerajinan
lainnya. Selain nilai gizi yang tinggi, pengaruh prestise bagi yang
mengkonsumsinya menyebabkan abalone memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal yang
juga menarik dari budidaya abalon adalah bersifat low tropic level (larvanya
memakan benthic diatom dan dewasanya memakan rumput laut/makroalga) dengan
demikian dapat dikatakan biaya produksinya relatif murah. Konsekuensi logis
dari pengembangan budidaya abalon adalah tersedianya benih dalam jumlah dan
kontinuitas yang memadai.
Peluang
bagi pelaku budidaya yaitu dikarenakan menurunnya populasi abalone di alam
akibat penangkapan yang berlebih dari tahun ke tahun, sehingga jumlah tangkapan
menurun, dan permintaan abalon terus mengalami peningkatan. Hal itu
mendorong berkembangnnya budidaya akuakultur abalon. Sehingga saat ini
kebutuhan abalon dunia lebih banyak dipenuhi dari sektor budidaya.
Budidaya
kultivan pada umumnya pertumbuhan dapat dipengaruhi oleh padat tebar yang
diterapkan. Pada umumnya jika padat tebar terlalu tinggi maka akan menghambat
pertumbuhan kultivan budidaya, akan tetapi pada abalone tidak berpengaruh pada
padat penebaran. Abalone tidak memerlukan ruang yang luas untuk pergerakannya.
Menurut Humaida et.al (2014) padat
tebar yang lebih rendah pada kultivan akan memiliki pertumbuhan yang lebih
cepat dibandingkan padat tebar yang lebih tinggi. Hasil perhitungan analisia
sidik ragam diketahui bawah rata-rata pertumbuhan panjang RGR menunjukkan
perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh. Padat tebar tersebut masih bisa
ditolerir sehingga tidak mempengaruhi pertumbuhan abalone. Abalon tidak
memerlukan ruang yang luas untuk pergerakannya. Hal ini menunjukkan bahwa padat
tebar tidak berpengaruh terhadap nilai kelulushidupan. Abalon merupakan
organisme yang habitat aslinya hidup pada perairan pasang surut yang berkarang
sedikit berpasir pada penelitian ini pemeliharaan abalon dilakukan di habitat
aslinya yaitu diperairan pasang surut.
2.2.Seleksi Induk
Seleksi induk dilakukan
untuk meningkatkan kualitas hasil budidaya agar memiliki nilai ekonomis yang
lebih tingggi. Seleksi abalone dapat dilakukan berdasarkan pengamatan
pertumbuhan, kelengkapan anggota tubuh, ada tidaknya penyakit, warna, dan
kematangan gonad. Menurut Permana et.al
(2015) Adanya seleksi induk dimaksudkan sebagai program perbaikan genetik yang
dihasilkan dan dapat meningkatkan nilai ekonomis lebih tinggi. Seleksi induk
dilakukan dengan menyeleksi berdasarkan pertumbuhan dari induk ablon itu
sendiri. Pada umumnya setelah 12 bulan ukuran abalone betina akan lebih besar
dasar abalone jantan.
Seleksi induk merupakan
tahap yang perlu dikarenakan dapat mempengaruhi hasil atau kualitas benih yang
dihasilkan, sehingga diperlukan adanya seleksi induk denganmemilih induk yang
berkualitas. Menurut Andriyanto dan Listyanto (2010), seleksi induk abalon
sangat menentukan tingkat keberhasilan pemijahan dan penentuan tingkat
kematangan gonad dapat dilakukan dengan mengukur panjang cangkang dan dengan
melihat perkembangan gonadnya. Seleksi induk dilakukan 1–2 hari sebelum
pemijahan atau empat sampai lima hari menjelang bulan gelap/bulan terang untuk
menghindari terjadinya pemijahan lebih awal. Induk yang diseleksi adalah induk
yang memiliki cangkang utuh atau tidak retak, tidak ada bekas luka pada bagian
badannya, gerakannya lincah serta memiliki panjang badan 3,5–6 cm dan telah
matang gonad. Induk yang telah diseleksi dan matang gonad memiliki panjang
cangkang berkisar 3,0–4,0 cm untuk induk jantan dan 3,6–5,0 cm untuk induk
betina, sedangkan bobot badan rata-rata adalah 46 g untuk induk jantan dan 53 g
untuk induk betina. Induk betina memiliki panjang cangkang serta bobot badan
lebih besar dibanding induk jantan. Perbedaan ukuran serta penurunan tingkat
pertumbuhan ini berkaitan dengan pematangan gonad. Di mana induk jantan
cenderung memiliki ukuran badan yang lebih kecil bila dibanding dengan induk
betina, dikarenakan jantan mengeluarkan lebih banyak energi selama reproduksi
dibanding dengan betina. Seleksi induk dengan menggunakan spatula di mana gonad
induk jantan berwarna merah muda atau orange kekuningan, sedangkan induk betina
berwarna hijau muda. Induk yang diseleksi telah matang gonad penuh (fully ripe)
dengan ciri-ciri gonad menggembung terisi penuh telur dan persentase penutupan
gonad terhadap kelenjar pencernaan pada induk yang matang gonad (fully ripe)
adalah lebih dari 50%.

Gambar 1. Perbedaan warna gonad induk
jantan dan betina
(sumber : Andriyanto dan Listyanto,
2010)
Induk
alam yang baru datang diaklimatisasi selama kurang lebih 30 menit dan bila
kondisi induk telah bergerak lincah dan menggeliatkan badannya menandakan
proses aklimatisasi berhasil. Abalon dimasukkan dalam keranjang pemeliharaan
induk dengan jumlah 30–35 ekor tiap keranjangnya. Hal ini dimaksudkan agar
populasi abalon dalam keranjang tidak terlalu padat yang akan berpengaruh
terhadap persaingan makanan, persaingan oksigen, dan juga persaingan substrat
penempelan. Kepadatan optimum larva untuk budidaya dengan menggunakan bak di
luar ruangan adalah sebanyak 50 ekor yuwana/m2 untuk panjang
cangkang < 40 mm, sedangkan untuk yuwana dan induk dengan panjang cangkang
> 40 mm maksimal sebanyak 38 ekor/m2. Priyambodo et al. (2005) dalam Andriyanto dan
Listyanto (2010) menyatakan bahwa pemeliharaan induk terpisah antara jantan dan
betina. Induk jantan dan betina dimasukkan dalam keranjang dengan warna yang
berbeda untuk memudahkan dalam menyeleksi induk-induk matang gonad pada waktu
pemijahan. Induk memerlukan substrat menempel berupa genting ukuran 30 cm x 22
cm dan potongan pipa PVC ukuran 8 inci berwarna hitam. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa genting lebih disukai sebagai substrat penempelan dibanding
dengan potongan pipa PVC. Hal ini dapat dilihat dari persentase penempelan
induk pada substrat genting lebih banyak dibandingkan substrat potongan pipa
PVC. Andriyanto dan Listyanto (2010) yang menyatakan bahwa dalam perkembangan
budidaya abalon, shelter yang pertama kali digunakan berupa genting. Di mana
genting ini diletakkan dalam posisi terbalik yaitu bagian yang terbuka
dihadapkan ke dasar/lantai. Pada perkembangan selanjutnya, digunakan shelter
dari bahan PVC dengan diameter 20 cm. Bak yang digunakan untuk pemeliharaan
induk adalah bak beton (ukuran 5 m x 1 m x 1 m) atau volume 5 m3. Ketinggian
air pada setiap bak pemeliharaan induk berkisar 40–50 cm dilengkapi sistem air
mengalir (flow through system)
sehingga pergantian air dalam bak mencapai 200%.


Gambar 2. Keranjang pemeliharaan induk
abalon
(sumber
: Andriyanto dan Listyanto, 2010)
Melalui
sistem air mengalir ini diharapkan ketersediaan oksigen selalu terjamin dan
kotoran yang mengendap pada dasar bak akan terbawa menuju saluran outlet
sehingga kebersihan bak akan tetap terjaga. Pembersihan bak dilakukan setiap
hari atau maksimal dua hari sekali dengan menguras total air dalam bak,
menyikat bak serta membersihkan kotoran serta sisa pakan. Andriyanto dan
Listyanto (2010) menyatakan bahwa bak pemeliharaan induk harus selalu
dibersihkan untuk mencegah pertumbuhan Copepoda, Nematoda serta bakteri lain
yang membahayakan. Selain itu, sarana dan prasarana pembenihan perlu dicek agar
tidak ada organisme pengganggu yang menempel dan mengganggu sirkulasi air.
2.3.Pemilihan Lokasi
Persebaran hidup gastropoda jenis abalone biasa hidup
menempel pada substrat batu, karang dan karang mati. Abalon
yang termasuk kedalam jenis Haliotidae ini hidup di perairan dengan salinitas
konstan, lebih senang berada di lautan terbuka serta suhu air juga
merupakan faktor yang memegang peranan penting bagi kehidupan organisme
perairan termasuk abalon. Tersebar di beberapa Negara sangat beragam mulai dari Australia,
sebagian di Indonesia, Selandia baru, dsb. Hal ini dijelaskan oleh Octaviany
(2007) bahwa suku Haliotidae memiliki penyebaran yang luas dan meliputi perairan
seluruh dunia, yaitu sepanjang perairan pesisir setiap benua kecuali perairan pantai
Atlantik di Amerika Selatan, Karibia, dan pantai timur Amerika Serikat. Abalone
paling banyak ditemukan di perairan bagian selatan yaitu di perairan pantai
Selandia Baru, Afrika Selatan dan Australia sedangkan di belahan bumi utara
adalah di perairan pantai barat Amerika dan Jepang. Abalone menyukai daerah
bebatuan di pesisir pantai, terutama pada daerah yang banyak ditemukan alga.
Perairan dengan salinitas yang tinggi dan suhu yang rendah juga merupakan syarat hidup abalone. Abalone
dewasa lebih memilih hidup di tempat - tempat dimana banyak ditemukan makroalga. Di
daerah utara (Alaska sampai British Columbia), abalone umumnya berada pada kedalaman 0
– 5 m, tetapi di California abalone berada pada kedalaman 10 m.
Kerang abalone
hidup pada daerah karang berpasir disekitar pantai dan jarang bahkan tidak
terdapat dimuara sungai. Hal ini yang akan menjadi pertimbangan utama dalam
memilih lokasi budidaya kerang abalone. Oleh karena itu, tidak semua lokasi
dapat dijadikan sebagai tempat budidaya kerang abalone. Selain faktor lokasi,
faktor yang sangat penting untuk dipertimbangkan adalah faktor keamanan. Faktor
keamanan merupakan salah satu penentu dalam keberhasilan setiap kegiatan usaha
yang dilakukan. Lokasi yang sangat ideal akan tetapi jika faktor keamanan tidak
mendukung akan menimbulkan kerugian akibat dari pencurian dan hal ini akan
mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Menurut Shobirin et al., (2013) identifikasi kelayakan sumberdaya lahan untuk
pengembang budidaya laut penting artinya dalam penataan ruang daerah yang
sesuai dengan peruntukannya sehingga terhindar dari konflik kepentingan baik
antar sektor kelautan/perikanan maupun dengan sektor lain. Pemilihan lokasi
untuk budidaya laut yang tepat dapat digunakan sebagai indikator awal
keberhasilan usaha budidaya sesuai dengan jenis komoditas dan teknologi
budidaya yang akan diterapkan.
Walaupun demikian, dari
segi kecepatan pertumbuhan, abalon tropis memiliki tingkat pertumbuhan yang
lebih cepat dibandingkan dengan abalon temperate, sehingga lebih cepat mencapai
ukuran komersil (ukuran pasar). Populasi
terbesar, baik dalam hal jumlah individu maupun jenis spesies, ditemukan pada
perairan Australia, Jepang, dan bagian barat Amerika Utara. H. Rufescens merupakan jenis abalon yang terdapat di
California yang diketahui memiliki ukuran paling besar, yaitu dapat mencapai
18-23 cm diameter cangkang. Pada umumnya abalon yang habitatnya di daerah
temperate memiliki ukuran yang jauh lebih besar dibandingkan dengan abalon pada
daerah tropis. Abalon tropis umumnya hanya memiliki ukuran 7-10 cm,
sedangkan abalon temperate rata-rata dapat mencapai ukuran 15-20 cm (Estes et al., 2005).
DESAIN DAN KONSTRUKSI
Desain
dan konstruksi harus di desain sedemikian rupa hingga membentuk suatu
konstruksi yang layak untuk budidaya kerang abalone. Hal yang perlu
diperhatikan adalah kekuatan konstruksi, daya tahan dan biaya konstruksi. Kita
bisa saja membuat suatu konstruksi yang sangat kokoh dengan menggunakan bahan
yang kuat, seperti besi anti karat (stainless), akan tetapi biaya yang
dikeluarkan mesti tidak sedikit. Bagi para pengusaha yang mempunyai modal yang
besar, hal itu bukan suatu masalah akan tetapi bagi masyarakat yang
berpenghasilan cukup tentu hal ini akan menjadi suatu masalah. Desain
konstruksi yang telah dibuat adalah sebagai berikut:
a. Konstruksi Pen-Culture
Pen-culture
berbentuk empat persegi panjang berukuran (PxLxT) 10x2x0,5meter yang di desain
dari kayu.


Gambar 3. Desain dan konstruksi pen-culture
Konstruksi pen-culture
yang telah terbentuk dan ditempatkan pada lokasi yang telah ditentukan, paving
blok dan genteng dapat diatur dan ditata secara berderet dalam pen-culture.
Pemberian paving blok dan genteng ini bertujuan sebagai substrak menempel dan
bersembunyi kerang abalone pada terang hari dan menciptakan suasana habitat
aslinya.
Genteng
disusun secara berbaris dengan kemiringan 450 searah dengan arah
gelombang (tidak menghadap gelombang), sedangkan paving blok dipergunakan
sebagai penyangga sekaligus pengapit antara genteng sehingga tidak mudah
terbongkar akibat hempasan gelombang dan akan membentuk rongga atau jarak
antara genteng yang dapat menjadi tempat persembunyian kerang abalone.


Gambar
4. Jenis Substrak (kiri) dara penyusunan substrak (kanan).
Selain
menyelesaikan konstruksi pen-culture, langkah selanjutnya adalah penumbuhan
makanan dalam pen-culture, salah satunya adalah Gracilaria sp. Hal ini
dimaksudkan sebagai sumber makanan awal saat benih mulai ditebar.
Penumbuhan/penanaman rumput laut jenis Gracilaria sp dilakukan dengan
cara menyelipkan diantara selah-selah jajaran genteng untuk menghindari
hanyutnya akibat adanya aliran air maupun ombak. Lama waktu penumbuhan hingga
mulai penabaran benih sebaiknya 14 hari (2 minggu), dengan maksud bahwa dalam
kurung waktu 14 hari Gracilaria sp diharapkan telah mampu melekat pada
genteng/substrak.
Gambar
5. Penumbuhan pakan
b.
Konstruksi KJA
Metode budidaya dengan
KJA berbeda dengan metode pen-culture. Pada metode KJA lebih identik pada
lokasi perairan dalam yang terlindungi, dalam arti bukan laut lepas dan jalur
pelayaran. Desain dan konstruksi KJA pada umumnya sama, akan tetapi sering kali
dibuat ukuran yang berbeda. Hal ini tentu tergantug pada kemanpuan dalam
membuatnya.
Bahan-bahan untuk
rangka rakit serta pelampung yang dipergunakan juga berbeda-beda, namun pada
prinsipnya sama yaitu untuk memelihara biota hingga dapat memperoleh hasil yang
memadai. Seperti, penggunaan rangka rakit dari bambu ataupun kayu. Hal yang
terpenting dalam memilih bahan konstruksi rakit adalah kekuatan, daya tahan
terhadap air (tidak mudah lapuk) dan harga beli yang terjangkau. Begitu pula
dengan penggunaan pelampung, seperti drum besi yang dicat anti karat, drum
palstik ataupun dari bahan strofoam yang terbungkus, namun pada prinsipnya
hanya untuk mengapungkan keramba. Dalam memilih dan menentukan jumlah pelampung
harus memperhitungkan daya apung atau kemanpuan menahan beban dan berat beban
yang dibawa sehingga tidak mudah tenggelam.
Proses pembuatan rakit
sebaiknya dilakukan didarat dan dekat dengan lokasi yang telah dipilih sebagai
lokasi budidaya, dengan tujuan memudahkan proses pengerjaannya dan mempercepat
proses penyelesaiannya serta penempatan dilokasi budidaya. Metode
perangkaiannya dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar
6. Konstruksi Keramba Jaring Apung (KJA).
Rakit
yang telah jadi dan siap sebaiknya segera ditempatkan pada lokasi yang telah
dipilih. Langkah awal penempatan rakit yaitu penempatan sebagian jangkar
terlebih dahulu dan setelah rakit sampai dilokasi budidaya, jangkar lainnya
dapat ditempatkan pada posisi yang telah ditentukan. Penempatan sebagian
jangkar terlebih dahulu bertujuan sebagai titik awal posisi keramba sedangkan
jangkar lainnya sebagai pengatur arah keramba. Keramba yang akan dipasang jika
lebih dari 1 unit, posisi atau arah keramba sebaiknya berlawanan dengan arah
gelombang, bertujuan untuk menghindari luas permukaan hempasan. Lain halnya
dengan pemasangan 1 unit keramba pada suatu lokasi, pertimbangan ini tidak
perlu untuk dilakukan. penempatan posisi untuk beberapa unit keramba dapat
dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar
7. Posisi keramba terhada arah gelombang, angin dan arus
Selanjutnya, kegiatan budidaya kerang abalone dapat
dilaksanakan. Pelaksanaan kegiatan budidaya kerang abalone dengan metode KJA
dapat dibedakan dalam 2 cara/metode, yaitu metode integrated dan metode
monoculture. Menurut penelitian Setyowati et
al., (2013), budidaya lobster dan abalon dengan sistem integrasi layak
untuk dilakukan karena nilai sintasan 100% untuk 49 hari pemeliharaan dan
kualitas air optimal untuk budidaya.
2.4.Perkembangan Larva
Perkembangan
larva terjadi secara bertahap, dimana pada setiap tahap perkembangannya
memiliki ciri atau khas tertentu. Larva abalon settle pada ukuran panjang 0,25
mm
Secara umum, ada empat tahap utama perkembangan larva abalon yaitu larva, pasca
larva, remaja, dan dewasa. Transisi dari satu tahap ke tahap lainnya diketahui
dengan proses perkembangan yang jelas. Misalnya, tahap post larva ditentukan
oleh penetapan tempat hidup dan metamorfosis dari larva, sedangkan pembentukan
pori pernapasan pertama menunjukkan tahap remaja dan akhirnya tahap dewasa
didefinisikan ketika kematangan seksual pertama yang sudah terlihat. Abalone
(Haliotis mariae) adalah spesies umum didistribusikan sepanjang pantai selatan
Oman. Tahap perkembangan embrio dan larva dari Haliotis mariae hampir memiliki tiga sampai enam fase sebelumnya
telah diidentifikasi dari tahap larva ke tahap postlarva. Ada enam tahap
perkembangan pada embrio yaitu telur nonfertilized, cleavage (tahap 4-cell),
morula, belum menetas larva trochophore, veliger awal, dan veliger
sempurna.Perkembangan larva adalah tahap kritis di spesies laut yang berbeda,
seperti moluska. Secara umum, perkembangan larva dari moluska dimulai dengan
tahap dasar trochophore dan kemudian semakin berkembang menjadi lecithotrophic
atau planktotrophic larva veliger, yang ditandai dengan pembentukan velum.
Setelah tahap planktonik singkat, tahap metamorfosis memungkinkan larva untuk
memulai tahap merayap dan menetap pada habitat bentik. pada awal tahap juvenil
akan melewati serangkaian tahap perkembangan untuk mencapai tahap dewasa. Ada
beberapa Studi dari perkembangan larva abalone di seluruh dunia Namun, yang
paling sering dikutip panduan untuk abalone perkembangan larva dilakukan pada
abalone (Haliotis diskus hannai).
Abalon merupakan komoditas budidaya laut yang memiliki
sifat pertumbuhan relatif lambat dan tingkat kelangsungan hidup rendah. Banyak faktor internal dan external yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan kelangsungan hidup abalon, Performa genetik induk merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas benih yang dihasilkan, karena
terdapat pengaruh genotipe terhadap fenotipe seperti pertumbuhan, fekunditas,
dan kelangsungan hidup yang lebih luas. Faktor
lainya yang mempengaruhi pertumbuhan dan mortalitas larva adalah kualitas air,
antara lain salinitas. Salinitas akan mempengaruhi proses metabolisme tubuh
seperti proses pencernaan, pertumbuhan maupun sistem pertahanan tubuh terhadap
penyakit. Abalone H. asinina dari embrio
sampai dewasa berkembang dan hidup dengan baik pada salinitas 30-36 ppt dan
salinitas sangat berpengaruh terhadap pertumbuhannya. Salinitas 30-36 ppt
sangat optimal terhadap kelangsungan hidup embrio dan spat abalon. Pemeliharaan
larva abalon pada tingkat salinitas yang berbeda akan memberikan respon yang
berbeda-beda terhadap perkembangan metamorphosis larva abalone.
Didalam
siklus hidup abalon terdapat masa transisi dari sifat planktonik ke pelagik
melalui melekatnya larva ke substrat. Fase ini merupakan fase yang kritis
dimana mempertahankan sintasan abalon setelah fase pelekatan merupakan
tantangan terbesar dalam kegiatan pembenihan. Perkembangan larva terjadi secara
bertahap, dimana pada setiap tahap perkembangannya memiliki ciri atau khas
tertentu.
Abalon muda yang
berumur 1 sampai 2 tahun banyak ditemui di perairan yang berarus sedang dengan
kedalaman 0,5–1 m (Imai, 1977) dan pada karang serta bebatuan.
2.5.Pemberian Pakan pada Abalon (Haliotis sp.)
Pakan merupakan salah
satu faktor yang penting dalam menunjang keberhasilan budidaya kerang abalone,
kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Ketepatan jenis pakan yang diberikan
menjadi pertimbangan utama dalam pemberian pakan. Abalon termasuk hewan
hebivorous. Jenis pakan kerang abalone adalah seaweed yang biasa disebut
makroalga, namun tidak semua dapat dimanfaatkan dengan baik sebagai sumber
makanan. Saat ini, pakan yang terbaik yang diberikan adalah Gracilaria sp yang merupakan makanan
favorit untuk kerang abalone. Selain Gracilaria
sp, jenis seaweed yang yang lain juga dapat diberikan, seperti Ulva sp. Saat pemberian pakan, perlu
diperhatikan kebersihan dan kesegaran pakan. Hal ini bertujuan untuk
menghindari adanya predator-predator yang terbawa dan menghindari pakan yang
hampir/telah mati yang nantinya akan membusuk dan menimbulkan racun bagi kerang
abalone. Hal ini diperkuat oleh Susanto et
al., (2010) menyatakan bahwa abalon termasuk hewan herbivorous sehingga
dapat mengonsumsi rumput laut sebagai pakan. Jenis rumput laut yang digunakan
sebagai pakan adalah Gracillaria maupun
Ulva. Abalon dapat mencerna rumput
laut karena memiliki enzim yang dapat melisis jaringan dinding sel rumput laut
seperti enzim selulase dan pektinase atau secara komersial disebut macerozyme.
Gracilaria merupakan makanan yang baik untuk perkembangan gonad induk abalon
jenis Haliotis asinina.
Abalon memiliki fase-fase kritis dimana pada fase ini harus
selalu di waspadai. Pakan harus selalu tersedia, karena pada fase kritis
abalone mulai makan. Menurut Marzuqi et
al. (2012), ketersediaan makanan bagi abalon yang baru memasuki masa post
larva adalah penting, karena hal ini berkaitan dengan sintasannya atau
kelulushidupan larva tersebut. Laju pertumbuhan pada fase hidup awal abalon
bergantung pada ketersediaan makanan dan kemampuan masing-masing individu dalam
memanfaatkan makanan yang tersedia. Tingkat kematian yang tinggi terjadi
apabila benih abalon tidak segera memperoleh pakan yang sesuai, baik jenis
maupun jumlahnya. Ketersediaan makanan bagi abalon yang
baru memasuki masa post larvae adalah penting, karena hal ini berkaitan dengan
kelangsungan hidupnya. Laju pertumbuhan pada fase hidup awal abalon bergantung
pada ketersediaan makanan dan kemampuan masing - masing individu dalam memanfaatkan
makanan yang tersedia Pemberian pakan pada larva abalon disesuaikan dengan
sifatnya yakni benthic atau melekat pada dasar bak. larva abalon memanfaatkan
yolk sac kuning telur& pada awal pemeliharaan, setelah kuning telur habis
larva memanfaatkan pakan alami berupa nitzchia
sp. Apabila pakan alami habis, maka dilakukan penambahan pakan alamidari kultur
massal, cara penambahan pakan alami tersebut dapat dilakukan dengan menebar
kembali inokulan diatom yang telah berumur 5-6 hari dengan menuang ke dalam bak
pemeliharaan yang persediaan pakan alaminya telah habis. Penambahan terus
dilakukan hingga larva berumur 1,5 bulan dan sudah bisa memakan rumput laut.
Pakan yang diberikan untuk larva abalon adalah Nitzschia sp atau navicula sp
yang diperoleh melalui kultur dilaboratorium yang kemudian ditebar ke bak
pemeliharaan larva selama tiga minggu sebelum larva ditebar. Agar pakan alami
dapat tumbuh dengan baik, maka pada bak pemeliharaan ditambahkan pupuk.
Persiapan pakan alami
untuk larva, plankton adalah pakan alami yang disediakan melalui kultur di
wadah terkontrol. Kultur plankton ada 3 tahapan: Skala Laboratorium, Semi
Massal, dan Skala Massal. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan plankton:
nutrien yng dibutuhkan, suhu, salinitas, pH, morfologi dan intensitas cahaya. Abalon
merupakan hewan laut yang bersifat herbivora artinya hewan tersebut menyukai
makanan berupa tumbuh-tumbuhan yang hidup di laut seperti rumput laut dari
golongan makro alga merah (Gracilaria), makro alga coklat (Laminaria),
dan makro alga hijau (Ulva). Menurut Susanto et al. (2010), bahwa abalon biasanya dipelihara dengan pemberian
makanan berupa rumput laut segar dari jenis Gracilaria spp. dengan dosis
berlebih (ad libitum) dan cara pemberian pakannya dilakukan
dengan interval satu minggu. Sedangkan metode pembesaran abalon yang dilakukan
secara terkontrol di Jepang diberi pakan berupa pelet dan seminggu sekali
diberi pakan rumput laut. Rumput laut merupakan makro-alga yang mempunyai nilai
kandungan EPA dan DHA yang cukup tinggi dan diperlukan bagi pertumbuhan manusia
maupun hewan, dan baik juga untuk pertumbuhan abalon.
Abalon membutuhkan karbohidrat dalam
pakan untuk proses pertumbuhan dan gametogenesis. Gracilaria sp. Memiliki kandungan karbohidrat dan kandungan protein
yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan kelulushidupan (survival rate) abalone.
Menurut Rusdi et.al (2010)
Pada umumnya pemberian pakan makroalga secara kombinasi menunjukkan rata-rata
pertumbuhan yang lebih baik pada abalone dibandingkan dengan pemberian pakan
makroalga secara tunggal. Pakan makroalga jenis Ecklonia yang
dikombinasikan dengan Gracilaria, Gellidium, Ulva ataupun Porphyra
mampu mempercepat pematangan gonad induk abalon H. midae. Perpaduan
kandungan nutrisi yang terdapat dalam pakan makroalga yang dikombinasikan pada
penelitian ini terlihat sangat mempengaruhi dalam memacu perkembangan gonad
abalon H. squamata.
Seperti halnya saat budidaya ikan , pemberian pakan
untuk abalon harus disesuaikan dengan tingkatan pertumbuhannya. Bentik diatom merupakan pakan yang harus diberikan pada
larva (umur 1 bulan) sebelum diberi pakan rumput laut. Pada umur 60-75 juvenil abalon sudah harus diberi pakan jenis
rumput laut. Pakan terbaik saat yuwana abalon adalah Grasillaria verrucosa. Pakan ini juga memberikan pengaruh
pertumbuhan, konversi pakan dan efisiensi pakan terbaik.
Empat jenis rumput laut yang memiliki ketersediaan
yang melimpah di laut yaitu: Ulva sp., Gracilaria sp. dari hasil
budidaya di tambak, Gracilaria sp. dan Sargassum sp. Ke-empat
rumput laut tersebut yang dalam keadaan segar
dapat dimanfaatkan oleh abalone sebagai sumber makanannya baik abalone
alami di dalam laut maupun abalone hasil budidaya.
Setelah
dilakukan analisis proksimat diketahui bahwa kandungan yang terdapat di
ke-empat rumput laut tersebut diantaranya :

Sumber : Giri et.al (2015)
Dari table tersebut maka dapat diketahui bahwa Ulva
sp. merupakan salah satu bahan baku
pakan potensial untuk abalon. Karena Ulva
sp memiliki kandungan protein yang paling tinggi diantara ke-empat rumput laut.
Gracilaria sp. baik dari hasil budidaya di tambak maupun yang dari laut
mempunyai kandungan protein (15,20%) dan (14,33%) jauh lebih rendah
dibandingkan kandungan protein Ulva sp. Demikian juga halnya dengan Sargassum
sp. yang kandungan proteinnya paling rendah (7,94%). Sargassum sp memiliki
kandungan protein yang bervariasi tergantung dari spesiesnya. Sargassum sp juga
dapat memberikan respon yang baik kepada abalone dengan jumlah yang tinggi.
Hasil analisis dapat diketahui bahwa dari
keempat
rumput laut pada percobaan tersebut mempunyai kandungan karbohidrat yang cukup
tinggi (24,69%-50,57%). Abalon merupakan hewan herbivore maka karbohidrat dapat
dijadikan sebagai sumber energi yang sangat baik bagi abalon.
Pertumbuhan abalon yang diberi pakan
yang berbeda atau campuran diantaranya maka juga akan menghasilkan pertumbuhan
yang berbeda. Pertumbuhan abalon yang dinyatakan dengan bobot akhir, persentase
pertambahan bobot, panjang cangkang dan lebar cangkang. Dengan pemberian pakan
yang berbeda jenis maupun jumlahnya maka pertumbuhan abalone yang terjadi juga
akan berbeda. Abalon yang diberi pakan dengan campuran tepung Ulva sp.
dengan Gracilaria sp. tambak atau campuran tepung Gracilaria sp.
tambak dengan Sargassum sp. memberikan pertumbuhan lebih baik
dibandingkan dengan yang diberi campuran tepung rumput laut lainnya. Pertumbuhan
paling rendah diperoleh pada abalon yang diberi pakan berupa campuran tepung Ulva
sp. dengan Gracilaria sp. laut. Namun demikian pertumbuhan abalon
yang diberi pakan Gracilaria sp. tambak segar menghasilkan pertumbuhan
paling tinggi dibandingkan dengan semua perlakuan lainnya. Hal ini dapat menunjukkan
bahwa masih ada permasalahan dalam pemanfaatan pakan buatan berupa pelet kering
oleh
abalon.
Abalon yang dimanfaatkan untuk percobaan memang
belum pernah diberikan pakan buatan, baik selama pemeliharaan larva maupun
selama pendederan. Sehingga sebelum dimanfaatkan untuk percobaan diperlukan
waktu yang relatif lama (satu bulan) untuk adaptasi terhadap pakan buatan. Dari
hasil penelitian ini diperoleh bahwa Gracilaria sp. tambak baik dalam
bentuk segar maupun kering (tepung) mempunyai peran lebih signifikan dalam
menunjang pertumbuhan abalon H. squamata. Tepung Ulva sp. selain
sebagai bahan pakan, juga dilaporkan mengandung senyawa bioaktif dan
antioksidan yang berperan menekan mortalitas akibat meningkatnya suhu air pada
musim panas (Giri et.al.,2015)
Abalon juga dapat memanfaatkan pakan
buatan berupa pelet kering sebagai pakannya terutama pada abalone yang sudah
dewasa atau tahap pembesara. Pemberian pakan buatan dalam bentuk pelet ini
dapat memberikan respons pertumbuhan yang baik. Biasanya respons pertumbuhan abalone yang diberi pakan
pelet kering dari bahan baku rumput laut masih lebih rendah dibandingkan dengan
yang diberi pakan Gracilaria sp. segar asal tambak. Namun demikian,
pakan pelet kering dari campuran tepung rumput laut Gracilaria sp.
tambak dengan Ulva sp. atau campuran Gracilaria sp.
tambak dengan Sargassum sp. memberikan respons pertumbuhan yang baik.
Diduga bahwa beberapa faktor yang menyebabkan respons pertumbuhan abalon yang
diberi pelet kering ini kurang baik di antaranya adalah palatabilitas pelet dan
komposisi nutrien pakan. Untuk itu, pada percobaan ini dibuat formula pakan
dengan mengoptimalkan proporsi dari tepung rumput laut Ulva sp., Gracilaria
sp. asal tambak dan Sargassum sp. dengan tujuan mendapatkan formula
pakan berbahan baku rumput laut yang sesuai untuk mendukung budidaya pembesaran
Abalon.
Frekuensi pemberian pakan dilakukan sebanayak 2 kali
dalam sehari dengan jumlah 20-25% dari biomassa induk. Jika jumlah pakan masih
memadai tidak dilakukan penambahan pakan, hal ini dilakukan agar tidak terjadi
pembusukan pakan yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan abalon dan bisa
mengakibatkan kematian pada induk abalon. Sebelum memberi makan sebaiknya
rumput laut gracillaria sp di bersihkan menggunakan air mengalir agar tidak ada
kotoran danhewan lain yang menempel seperti lumpur, teritip, keong dan udang.
Pembesaran abalon masih memiliki hambatan dalam upaya meningkatkan
produktivitasnya. Dalam pembesaran abalon dapat menggunakan pakan alami maupun
pakan buatan. Pakan alami memiliki kekurangan yaitu sulitnya ketersediaan
pakan, dan pakan buatan memiliki kekurangan dalam konfigurasi atau komposisi
yang cukup diperlukan bagi abalon masih belum terpenuhi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adimulya.R.A.,Onu.L.O dan
Azhar.B.2016.Analisis Pendapatan dan Prospek Agribisnis Abalon (Haliotis Asinina) di Kabupaten Konawe
dan Kota Kendari.1(1):85-97
Andriyanto, S., dan N. Listyanto. 2010.
Manajemen Pemeliharaan Induk Abalon (Haliotis asinina) Hasil Tangkapan dari
Alam. Jurnal Media Akuakultur. 5(2) : 162-168.
Azlan, L. O., A.
B. Patadjai dan I. J. Effendy. 2013. Konsumsi Pakan dan Pertumbuhan Induk
Abalon (Haliotis asinina) yang
Dipelihara pada Closed Resirculating System dengan Menggunakan Berat Ulfa fasciata yang Berbeda sebagai
Biofilter. Jurnal Mina Laut Indonesia. 2(6): 100-108.
Cook, P. A. dan H. R. Gordon. 2010.
World Abalone Supply, Markets, and Pricing. Journal of Shellfish Research.
29(3): 569-571
Estes,
J. A., D. R. Lindberg and C. Wray. 2005. Evolution of Large Body Size in
Abalons (Haliotis): Patterns and
Implications. Journal Paleobiology.
Humaidi.,Sri.R dan
Restiana.W.A.2014.Pembesaran Siput Abalon (Haliotis
squamata) dalam Karamba Tancap di Area Pasang Surut dengan Padat Tebar yang
Bebeda.Journal of Aquaculture Management and Technologi.3(4):214-221
Litaay.M.,Karlina.S.,Risco.H.G dan Nur.H.2017.
Potensi Abalon Tropis Haliotis asinine L. sebagai Sumber Inokulum Jamur
Simbion Penghasil Antimikroba.Jurnal Spermonde. 3(1):42-46
Marzuqi,M.
Ibnu, R. dan Bambang, S. 2012. Aplikasi Pakan Buatan pada Pemeliharaan Benih
Abalon (Haliotis Squamata). Jurnal
Riset Akuakultur. 7(2) : 237-245.
Nurfajrie, Suminto dan S. Rejeki. 2014. Pemanfaatan
Berbagai Jenis Makroalga untuk Pertumbuhan
Abalon (Haliotis squamata) dalam Budidaya Pembesaran. Journal of
Aquaculture Management and Technology.3(4):142-150.
Octaviany, M. J. 2007. Beberapa Catatan Tentang
Aspek Biologi dan Perikanan Abalon. Oseana, Volume XXXII.
Praipue,
P., S. Klinbunga dan P. Jarayabhand. 2010. Genetic Diversity of Wild and
Domesticated Stocks of Thai Abalone, Haliotis
asinina (Haliotidae), Analyzed by Single-Strand Conformational Polymorphism
of AFLP-Derived Markers. Genetics and Molecular Research. 9(2): 1136-1152.
Rusdi.I.,Riani.R.,Bambang.S dan I
Nyoman.A.G.2010.Pematangan Gonad Induk Abalon Haliotis squamata melalui
Pengelolaan pakan. J.Ris.Akuakultur.5(3):383-391
Shobirin, M.R., I. Riyantini Dan T. Herawati. 2013. Studi Kelayakan Perairan untuk Pengembangan
Budidaya Abalon (Haliotis asinina) di Perairan Sayang Heulang,
Pameungpeuk, Garut. Jurnal Perikanan Kelautan. 4(4): 445-452. ISSN :
2088-3137.
Sinaga, D. S.,
Melky, dan D. E. D. Setyono. 2015. Studi Pertumbuhan Abalon Tropis (Haliotis asinina) dengan Pemberian
Pakan Buatan yang Berbeda. Jurnal Maspari. 7(1) : 21-28.
Susanto, B., I. Rusdi, R. Rahmawati, I
N. A. Giri dan T. Sutarmat. 2010. Pemeliharaan Yuwana Abalon (Haliotis squamata) Turunan F-1 Secara Terkontrol dengan Jenis
Pakan Berbeda.J.Ris.Akuakultur.5(2):199-209.
Susanto, B., I. Rusdi, R. Rahmawati, I
N. A. Giri dan T. Sutarmat. 2010.Aplikasi Teknologi Pembesaran Abalon (Haliotis squamata) dalam Menunjang Pemberdayaan Masyarakat
Pesisir.Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur.295-304




Tidak ada komentar:
Posting Komentar