Sabtu, 10 Februari 2018

Budidaya Ikan Berpotensi



PEMBAHASAN
2.1.Potensi Abalon
Di Indonesia, produksi abalon lebih banyak diperoleh dari tangkapan, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya pengambilan yang secara berlebihan. Dimana abalon ini memiliki pertumbuhan yang sangat lambat, sehingga akan menimbulkan kelangkaan yang berakibat pada kepunahan. Oleh karena itu perlu adanya usaha untuk memelihara kerang abalon dalam lingkungan buatan yang terkontrol, serta menjadikan abalon komoditas budidaya yang dapat dikomersilkan menjadi usaha yang menguntungkan. Selama ini abalone didapatkan dari penangkapan alam dan hanya sebagian kecil dari produksi budidaya, meningkatnya kebutuhan akan komoditas abalone pada akhir - akhir ini memicu perkembangan budidaya abalone. Produksi dari kebanyakan budidaya abalone tergantung induk yang diambil dari alam, dimana induk abalone ini perlu adaptasi tinggi dari alam ke area budidaya. Sehingga dalam pemeliharaannya banyak kendala yaitu kematian massal. Salah satu penyebab adanya kematian massal ini adalah kualitas air media yang kurang bagus. Oleh karena itu dalam kegiatan budidaya abalone (pemeliharaan induk) tersebut dibutuhkan air laut yang benar benar bersih bebas dari partikel dan pathogen
Abalon merupakan kelompok moluska laut yang lebih dikenal sebagai “kerang mata tujuh”. Ablon memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena abalon memiliki bentuk dan warna yang indah. Selain dagingnya, cangkang abalone juga dapat dimanfaatkan pada industri kancing perhiasan dan barang kerajinan lainnya. Menurut Adimulya et,al (2016) Abalon menjadi salah satu produk perikanan laut yang memiliki nilai ekonomis. Pangsa pasar abalon tidak hanya terbatas di dalam negeri namun juga di luar negeri. Permintaan komoditas abalon di pasar internasional terus mengalami peningkatan. Peningkatan permintaan abalon biasanya selalu diikuti dengan peningkatan harga. Selain itu, tingginya harga abalon juga disebabkan oleh terbatasnya volume produksi. Upaya pembenihan abalon telah dilakukan untuk mendukung kegiatan budidaya. Namun produksi benih yang dihasilkan di balai benih masih dalam skala kecil dengan tingkat keberhasilan 0,5-2 % dalam satu siklus pemijahan.
Abalon merupakan salah satu kerang yang menjadi kultivan budidaya yang berpotensi karena pada dasarnya permintaan pasar dari abalone sangat tinggi akan tetapi masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam, sehingga perlu adanya pengembangan  dalam budidaya abalone agar dapat memenuhi permintaan. Menurut Humaida et.al (2014) Permintaan komoditas ini di negara negara seperti Cina, Taiwan, dan Korea semakin meningkat. Namun untuk memenuhi permintaan tersebut sebagian masih dari alam sehingga menyebabkan populasi abalon di alam mengalami penurunan hingga mencapai 30% dari populasinya. Demi menjamin ketersediaan stok abalon diperlukan adanya suatu usaha pengembangan teknik budidaya, karena abalon sangat berpotensi untuk dibudidayakan dan diharapkan dapat memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat setiap tahun menjadi salah satu penyebab tingginya angka eksploitasi terhadap abalon. Sehingga kegiatan budidaya perlu dikembangkan secara intensif untuk memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat. Salah satu teknik budidaya saat ini yang dikembangkan adalah dengan menggunakan prinsip-prinsip budidaya secara intensif, dimana lahan yang digunakan terbatas, pemberian pakan yang teratur, dan mudahnya dilakukan kontrol terhadap lingkungan, sistem budidaya tersebut dikenal dengan budidaya keranjang atau karamba tancap.
Di indonesia terdapat tujuh spesies, yaitu H. asinina, H. varia, H. squamosa, H. ovina, H. glabra, H. planata, dan H. crebrisculpta. H. asinina, H. ovina, H. squamata dan H. varia merupakan jenis abalon tropis yang terdapat di Indonesia yang telah memiliki pasar internasional, terutama China, Taiwan, dan Korea.  Bukan hanya di Indonesia, persebaran spesies-spesies tersebut cukup besar, yaitu  mencapai perairan Indo-Malay, bagian timur samudera Hindia dan Barat Samudera Pasifik.  Namun, dari keempat jenis abalon tersebut, jenis H. asinina dan H. squamata merupakan yang paling banyak ditemukan di perairan Indonesia.  Kelebihan H. asinina dibading H. ovina dan H. varia adalah karena proporsi dagingnya lebih besar,  yaitu  H. asinina 85%, H. ovina 40%, dan H. varia 30% (Praipue et al., 2010).
Abalon  adalah salah satu komoditas perikanan yang langka dan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi.  Kebutuhan dunia akan bahan makanan dan variasi protein baru menjadi penyebabnya. Peningkatan kebutuhan dunia terhadap abalon dalam dua dasawarsa terakhir telah memicu perkembangan budidayanya di berbagai negara seperti Jepang, Taiwan, Amerika Serikat dan Australia (Azlan et al., 2013). Abalone memiliki nlai jual yang tinggi karena di salah satu restoran dan hotel mewah di Jakarta abalone dalam sajian makanan mencapai harga Rp. 1.500.000.-/ porsi. Abalone dalam bentuk hidup dapat mencapai harga Rp.200.000,-/kg, jenis lainnya seperti jenis H. supertextra atau H. squamatadapat lebih mahal hingga mencapai Rp. 600.000,-/kg Susanto et.al (2010) .
Tingginya permintaan juga dapat dikarenakan abalone memiliki nilai gizi yang tinggi. Menurut Litaay et.al (2017) Abalon tropis H. asinina L. merupakan salah satu gastropoda yang banyak dibudidayakan karena nilai protein yang tinggi dan kandungan kolestrol yang rendah. Kandungan nutrisi yang sangat baik untuk kesehatan membuat nilai ekonomis H. asinina L. meningkat. Nilai ekonomis H. asinina yang tinggi memberi pengaruh besar bagi yang mengkonsumsinya. Selain nilai ekonomis dan protein yang tinggi H. asinine L. memiliki senyawa metabolit sekunder yang dapat digunakan sebagai bahan antimikroba.
Menurut Nurfajri, et al., (2014) daging abalon (Haliotis asinina) mempunyai gizi yang cukup tinggi dengan kandungan protein 71,99%; lemak 3,2%; serat 5,60%; abu 11,11% dan kadar air 0,60% serta cangkangnya mempunyai nilai estetika yang dapat digunakan untuk perhiasan, pembuatan kancing baju dan berbagai bentuk barang kerajinan lainnya. Selain nilai gizi yang tinggi, pengaruh prestise bagi yang mengkonsumsinya menyebabkan abalone memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal yang juga menarik dari budidaya abalon adalah bersifat low tropic level (larvanya memakan benthic diatom dan dewasanya memakan rumput laut/makroalga) dengan demikian dapat dikatakan biaya produksinya relatif murah. Konsekuensi logis dari pengembangan budidaya abalon adalah tersedianya benih dalam jumlah dan kontinuitas yang memadai.
Peluang bagi pelaku budidaya yaitu dikarenakan menurunnya populasi abalone di alam akibat penangkapan yang berlebih dari tahun ke tahun, sehingga jumlah tangkapan menurun, dan permintaan abalon terus mengalami peningkatan.  Hal itu mendorong berkembangnnya budidaya akuakultur abalon.  Sehingga saat ini kebutuhan abalon dunia lebih banyak dipenuhi dari sektor budidaya.
Budidaya kultivan pada umumnya pertumbuhan dapat dipengaruhi oleh padat tebar yang diterapkan. Pada umumnya jika padat tebar terlalu tinggi maka akan menghambat pertumbuhan kultivan budidaya, akan tetapi pada abalone tidak berpengaruh pada padat penebaran. Abalone tidak memerlukan ruang yang luas untuk pergerakannya. Menurut Humaida et.al (2014) padat tebar yang lebih rendah pada kultivan akan memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan padat tebar yang lebih tinggi. Hasil perhitungan analisia sidik ragam diketahui bawah rata-rata pertumbuhan panjang RGR menunjukkan perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh. Padat tebar tersebut masih bisa ditolerir sehingga tidak mempengaruhi pertumbuhan abalone. Abalon tidak memerlukan ruang yang luas untuk pergerakannya. Hal ini menunjukkan bahwa padat tebar tidak berpengaruh terhadap nilai kelulushidupan. Abalon merupakan organisme yang habitat aslinya hidup pada perairan pasang surut yang berkarang sedikit berpasir pada penelitian ini pemeliharaan abalon dilakukan di habitat aslinya yaitu diperairan pasang surut.
2.2.Seleksi Induk
Seleksi induk dilakukan untuk meningkatkan kualitas hasil budidaya agar memiliki nilai ekonomis yang lebih tingggi. Seleksi abalone dapat dilakukan berdasarkan pengamatan pertumbuhan, kelengkapan anggota tubuh, ada tidaknya penyakit, warna, dan kematangan gonad. Menurut Permana et.al (2015) Adanya seleksi induk dimaksudkan sebagai program perbaikan genetik yang dihasilkan dan dapat meningkatkan nilai ekonomis lebih tinggi. Seleksi induk dilakukan dengan menyeleksi berdasarkan pertumbuhan dari induk ablon itu sendiri. Pada umumnya setelah 12 bulan ukuran abalone betina akan lebih besar dasar abalone jantan.
Seleksi induk merupakan tahap yang perlu dikarenakan dapat mempengaruhi hasil atau kualitas benih yang dihasilkan, sehingga diperlukan adanya seleksi induk denganmemilih induk yang berkualitas. Menurut Andriyanto dan Listyanto (2010), seleksi induk abalon sangat menentukan tingkat keberhasilan pemijahan dan penentuan tingkat kematangan gonad dapat dilakukan dengan mengukur panjang cangkang dan dengan melihat perkembangan gonadnya. Seleksi induk dilakukan 1–2 hari sebelum pemijahan atau empat sampai lima hari menjelang bulan gelap/bulan terang untuk menghindari terjadinya pemijahan lebih awal. Induk yang diseleksi adalah induk yang memiliki cangkang utuh atau tidak retak, tidak ada bekas luka pada bagian badannya, gerakannya lincah serta memiliki panjang badan 3,5–6 cm dan telah matang gonad. Induk yang telah diseleksi dan matang gonad memiliki panjang cangkang berkisar 3,0–4,0 cm untuk induk jantan dan 3,6–5,0 cm untuk induk betina, sedangkan bobot badan rata-rata adalah 46 g untuk induk jantan dan 53 g untuk induk betina. Induk betina memiliki panjang cangkang serta bobot badan lebih besar dibanding induk jantan. Perbedaan ukuran serta penurunan tingkat pertumbuhan ini berkaitan dengan pematangan gonad. Di mana induk jantan cenderung memiliki ukuran badan yang lebih kecil bila dibanding dengan induk betina, dikarenakan jantan mengeluarkan lebih banyak energi selama reproduksi dibanding dengan betina. Seleksi induk dengan menggunakan spatula di mana gonad induk jantan berwarna merah muda atau orange kekuningan, sedangkan induk betina berwarna hijau muda. Induk yang diseleksi telah matang gonad penuh (fully ripe) dengan ciri-ciri gonad menggembung terisi penuh telur dan persentase penutupan gonad terhadap kelenjar pencernaan pada induk yang matang gonad (fully ripe) adalah lebih dari 50%.
Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Screenshot_2017-03-28-13-36-12.png
Gambar 1. Perbedaan warna gonad induk jantan dan betina
(sumber : Andriyanto dan Listyanto, 2010)
Induk alam yang baru datang diaklimatisasi selama kurang lebih 30 menit dan bila kondisi induk telah bergerak lincah dan menggeliatkan badannya menandakan proses aklimatisasi berhasil. Abalon dimasukkan dalam keranjang pemeliharaan induk dengan jumlah 30–35 ekor tiap keranjangnya. Hal ini dimaksudkan agar populasi abalon dalam keranjang tidak terlalu padat yang akan berpengaruh terhadap persaingan makanan, persaingan oksigen, dan juga persaingan substrat penempelan. Kepadatan optimum larva untuk budidaya dengan menggunakan bak di luar ruangan adalah sebanyak 50 ekor yuwana/m2 untuk panjang cangkang < 40 mm, sedangkan untuk yuwana dan induk dengan panjang cangkang > 40 mm maksimal sebanyak 38 ekor/m2. Priyambodo et al. (2005) dalam Andriyanto dan Listyanto (2010) menyatakan bahwa pemeliharaan induk terpisah antara jantan dan betina. Induk jantan dan betina dimasukkan dalam keranjang dengan warna yang berbeda untuk memudahkan dalam menyeleksi induk-induk matang gonad pada waktu pemijahan. Induk memerlukan substrat menempel berupa genting ukuran 30 cm x 22 cm dan potongan pipa PVC ukuran 8 inci berwarna hitam. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa genting lebih disukai sebagai substrat penempelan dibanding dengan potongan pipa PVC. Hal ini dapat dilihat dari persentase penempelan induk pada substrat genting lebih banyak dibandingkan substrat potongan pipa PVC. Andriyanto dan Listyanto (2010) yang menyatakan bahwa dalam perkembangan budidaya abalon, shelter yang pertama kali digunakan berupa genting. Di mana genting ini diletakkan dalam posisi terbalik yaitu bagian yang terbuka dihadapkan ke dasar/lantai. Pada perkembangan selanjutnya, digunakan shelter dari bahan PVC dengan diameter 20 cm. Bak yang digunakan untuk pemeliharaan induk adalah bak beton (ukuran 5 m x 1 m x 1 m) atau volume 5 m3. Ketinggian air pada setiap bak pemeliharaan induk berkisar 40–50 cm dilengkapi sistem air mengalir (flow through system) sehingga pergantian air dalam bak mencapai 200%.
Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Screenshot_2017-03-28-13-37-02.pngDescription: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Screenshot_2017-03-28-13-37-13.png
Gambar 2. Keranjang pemeliharaan induk abalon
(sumber : Andriyanto dan Listyanto, 2010)
Melalui sistem air mengalir ini diharapkan ketersediaan oksigen selalu terjamin dan kotoran yang mengendap pada dasar bak akan terbawa menuju saluran outlet sehingga kebersihan bak akan tetap terjaga. Pembersihan bak dilakukan setiap hari atau maksimal dua hari sekali dengan menguras total air dalam bak, menyikat bak serta membersihkan kotoran serta sisa pakan. Andriyanto dan Listyanto (2010) menyatakan bahwa bak pemeliharaan induk harus selalu dibersihkan untuk mencegah pertumbuhan Copepoda, Nematoda serta bakteri lain yang membahayakan. Selain itu, sarana dan prasarana pembenihan perlu dicek agar tidak ada organisme pengganggu yang menempel dan mengganggu sirkulasi air.

2.3.Pemilihan Lokasi
Persebaran hidup gastropoda jenis abalone biasa hidup menempel pada substrat batu, karang dan karang mati. Abalon yang termasuk kedalam jenis Haliotidae ini hidup di perairan dengan salinitas konstan, lebih senang berada di lautan terbuka serta suhu air juga merupakan faktor yang memegang peranan penting bagi kehidupan organisme perairan termasuk abalon. Tersebar di beberapa Negara sangat beragam mulai dari Australia, sebagian di Indonesia, Selandia baru, dsb. Hal ini dijelaskan oleh Octaviany (2007) bahwa suku Haliotidae memiliki penyebaran yang luas dan meliputi perairan seluruh dunia, yaitu sepanjang perairan pesisir setiap benua kecuali perairan pantai Atlantik di Amerika Selatan, Karibia, dan pantai timur Amerika Serikat. Abalone paling banyak ditemukan di perairan bagian selatan yaitu di perairan pantai Selandia Baru, Afrika Selatan dan Australia sedangkan di belahan bumi utara adalah di perairan pantai barat Amerika dan Jepang. Abalone menyukai daerah bebatuan di pesisir pantai, terutama pada daerah yang banyak ditemukan alga. Perairan dengan salinitas yang tinggi dan suhu yang rendah juga merupakan syarat hidup abalone. Abalone dewasa lebih memilih hidup di tempat - tempat dimana banyak ditemukan makroalga. Di daerah utara (Alaska sampai British Columbia), abalone umumnya berada pada kedalaman 0 – 5 m, tetapi di California abalone berada pada kedalaman 10 m.
Kerang abalone hidup pada daerah karang berpasir disekitar pantai dan jarang bahkan tidak terdapat dimuara sungai. Hal ini yang akan menjadi pertimbangan utama dalam memilih lokasi budidaya kerang abalone. Oleh karena itu, tidak semua lokasi dapat dijadikan sebagai tempat budidaya kerang abalone. Selain faktor lokasi, faktor yang sangat penting untuk dipertimbangkan adalah faktor keamanan. Faktor keamanan merupakan salah satu penentu dalam keberhasilan setiap kegiatan usaha yang dilakukan. Lokasi yang sangat ideal akan tetapi jika faktor keamanan tidak mendukung akan menimbulkan kerugian akibat dari pencurian dan hal ini akan mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Menurut Shobirin et al., (2013) identifikasi kelayakan sumberdaya lahan untuk pengembang budidaya laut penting artinya dalam penataan ruang daerah yang sesuai dengan peruntukannya sehingga terhindar dari konflik kepentingan baik antar sektor kelautan/perikanan maupun dengan sektor lain. Pemilihan lokasi untuk budidaya laut yang tepat dapat digunakan sebagai indikator awal keberhasilan usaha budidaya sesuai dengan jenis komoditas dan teknologi budidaya yang akan diterapkan.
Walaupun demikian, dari segi kecepatan pertumbuhan, abalon tropis memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan abalon temperate, sehingga lebih cepat mencapai ukuran komersil (ukuran pasar). Populasi terbesar, baik dalam hal jumlah individu maupun jenis spesies, ditemukan pada perairan Australia, Jepang, dan bagian barat Amerika Utara.  H. Rufescens merupakan jenis abalon yang terdapat di California yang diketahui memiliki ukuran paling besar, yaitu dapat mencapai 18-23 cm diameter cangkang. Pada umumnya abalon yang habitatnya di daerah temperate memiliki ukuran yang jauh lebih besar dibandingkan dengan abalon pada daerah tropis.  Abalon tropis umumnya hanya memiliki ukuran 7-10 cm, sedangkan abalon temperate rata-rata dapat mencapai ukuran 15-20 cm (Estes et al., 2005).

DESAIN DAN KONSTRUKSI
Desain dan konstruksi harus di desain sedemikian rupa hingga membentuk suatu konstruksi yang layak untuk budidaya kerang abalone. Hal yang perlu diperhatikan adalah kekuatan konstruksi, daya tahan dan biaya konstruksi. Kita bisa saja membuat suatu konstruksi yang sangat kokoh dengan menggunakan bahan yang kuat, seperti besi anti karat (stainless), akan tetapi biaya yang dikeluarkan mesti tidak sedikit. Bagi para pengusaha yang mempunyai modal yang besar, hal itu bukan suatu masalah akan tetapi bagi masyarakat yang berpenghasilan cukup tentu hal ini akan menjadi suatu masalah. Desain konstruksi yang telah dibuat adalah sebagai berikut:

a. Konstruksi Pen-Culture
Pen-culture berbentuk empat persegi panjang berukuran (PxLxT) 10x2x0,5meter yang di desain dari kayu.
 Gambar 3. Desain dan konstruksi pen-culture
Konstruksi pen-culture yang telah terbentuk dan ditempatkan pada lokasi yang telah ditentukan, paving blok dan genteng dapat diatur dan ditata secara berderet dalam pen-culture. Pemberian paving blok dan genteng ini bertujuan sebagai substrak menempel dan bersembunyi kerang abalone pada terang hari dan menciptakan suasana habitat aslinya.
Genteng disusun secara berbaris dengan kemiringan 450 searah dengan arah gelombang (tidak menghadap gelombang), sedangkan paving blok dipergunakan sebagai penyangga sekaligus pengapit antara genteng sehingga tidak mudah terbongkar akibat hempasan gelombang dan akan membentuk rongga atau jarak antara genteng yang dapat menjadi tempat persembunyian kerang abalone.
Gambar 4. Jenis Substrak (kiri) dara penyusunan substrak (kanan).
Selain menyelesaikan konstruksi pen-culture, langkah selanjutnya adalah penumbuhan makanan dalam pen-culture, salah satunya adalah Gracilaria sp. Hal ini dimaksudkan sebagai sumber makanan awal saat benih mulai ditebar. Penumbuhan/penanaman rumput laut jenis Gracilaria sp dilakukan dengan cara menyelipkan diantara selah-selah jajaran genteng untuk menghindari hanyutnya akibat adanya aliran air maupun ombak. Lama waktu penumbuhan hingga mulai penabaran benih sebaiknya 14 hari (2 minggu), dengan maksud bahwa dalam kurung waktu 14 hari Gracilaria sp diharapkan telah mampu melekat pada genteng/substrak.
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTpPOo0UBBVLD5ssSn4CgQDXg93yjNbRyxnZ1uuazwkrd4HPEcvYnguFx33BOZQkn65-Jrrpg_h462EszFQ2qrYiQsFRxJNYRszg9-I8U-Pnx1BoPqPIvVFlfx9gkZwU-JLjoV0yztMq0/s280/Clip_3.jpg
Gambar 5. Penumbuhan pakan


b. Konstruksi KJA
Metode budidaya dengan KJA berbeda dengan metode pen-culture. Pada metode KJA lebih identik pada lokasi perairan dalam yang terlindungi, dalam arti bukan laut lepas dan jalur pelayaran. Desain dan konstruksi KJA pada umumnya sama, akan tetapi sering kali dibuat ukuran yang berbeda. Hal ini tentu tergantug pada kemanpuan dalam membuatnya.
Bahan-bahan untuk rangka rakit serta pelampung yang dipergunakan juga berbeda-beda, namun pada prinsipnya sama yaitu untuk memelihara biota hingga dapat memperoleh hasil yang memadai. Seperti, penggunaan rangka rakit dari bambu ataupun kayu. Hal yang terpenting dalam memilih bahan konstruksi rakit adalah kekuatan, daya tahan terhadap air (tidak mudah lapuk) dan harga beli yang terjangkau. Begitu pula dengan penggunaan pelampung, seperti drum besi yang dicat anti karat, drum palstik ataupun dari bahan strofoam yang terbungkus, namun pada prinsipnya hanya untuk mengapungkan keramba. Dalam memilih dan menentukan jumlah pelampung harus memperhitungkan daya apung atau kemanpuan menahan beban dan berat beban yang dibawa sehingga tidak mudah tenggelam.
Proses pembuatan rakit sebaiknya dilakukan didarat dan dekat dengan lokasi yang telah dipilih sebagai lokasi budidaya, dengan tujuan memudahkan proses pengerjaannya dan mempercepat proses penyelesaiannya serta penempatan dilokasi budidaya. Metode perangkaiannya dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqnxxrrEk14O2kesS3WDy-Y7SxnGqrRig_18h8za4vAYohik8Nhte83wiiteiB5WBlZIVBBrrvdZ69sxhKOd_LPZwedcyIcOiYx-3xbPjbe8QGHXuxjjVFogB9flVasRHkRyDRpUTO1NQ/s280/Clip_5.jpg 
Gambar 6. Konstruksi Keramba Jaring Apung (KJA).
Rakit yang telah jadi dan siap sebaiknya segera ditempatkan pada lokasi yang telah dipilih. Langkah awal penempatan rakit yaitu penempatan sebagian jangkar terlebih dahulu dan setelah rakit sampai dilokasi budidaya, jangkar lainnya dapat ditempatkan pada posisi yang telah ditentukan. Penempatan sebagian jangkar terlebih dahulu bertujuan sebagai titik awal posisi keramba sedangkan jangkar lainnya sebagai pengatur arah keramba. Keramba yang akan dipasang jika lebih dari 1 unit, posisi atau arah keramba sebaiknya berlawanan dengan arah gelombang, bertujuan untuk menghindari luas permukaan hempasan. Lain halnya dengan pemasangan 1 unit keramba pada suatu lokasi, pertimbangan ini tidak perlu untuk dilakukan. penempatan posisi untuk beberapa unit keramba dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_qKYwkNpYImHYxqa1w6eoHz9QnoNcWT7P8rIQ3Ugiidf80t98zyICZppwa9CKL54VDGL_MaHXKHXx1R_ZWA22_qlRSxqr149VeWzgKmPE1SI1zpvwH5vjr219bML89-4M7PzGi9vEFx0/s280/Clip_6.jpg
Gambar 7. Posisi keramba terhada arah gelombang, angin dan arus
Selanjutnya, kegiatan budidaya kerang abalone dapat dilaksanakan. Pelaksanaan kegiatan budidaya kerang abalone dengan metode KJA dapat dibedakan dalam 2 cara/metode, yaitu metode integrated dan metode monoculture. Menurut penelitian Setyowati et al., (2013), budidaya lobster dan abalon dengan sistem integrasi layak untuk dilakukan karena nilai sintasan 100% untuk 49 hari pemeliharaan dan kualitas air optimal untuk budidaya.
2.4.Perkembangan Larva
Perkembangan larva terjadi secara bertahap, dimana pada setiap tahap perkembangannya memiliki ciri atau khas tertentu. Larva abalon settle pada ukuran panjang 0,25 mm Secara umum, ada empat tahap utama perkembangan larva abalon yaitu larva, pasca larva, remaja, dan dewasa. Transisi dari satu tahap ke tahap lainnya diketahui dengan proses perkembangan yang jelas. Misalnya, tahap post larva ditentukan oleh penetapan tempat hidup dan metamorfosis dari larva, sedangkan pembentukan pori pernapasan pertama menunjukkan tahap remaja dan akhirnya tahap dewasa didefinisikan ketika kematangan seksual pertama yang sudah terlihat. Abalone (Haliotis mariae) adalah spesies umum didistribusikan sepanjang pantai selatan Oman. Tahap perkembangan embrio dan larva dari Haliotis mariae hampir memiliki tiga sampai enam fase sebelumnya telah diidentifikasi dari tahap larva ke tahap postlarva. Ada enam tahap perkembangan pada embrio yaitu telur nonfertilized, cleavage (tahap 4-cell), morula, belum menetas larva trochophore, veliger awal, dan veliger sempurna.Perkembangan larva adalah tahap kritis di spesies laut yang berbeda, seperti moluska. Secara umum, perkembangan larva dari moluska dimulai dengan tahap dasar trochophore dan kemudian semakin berkembang menjadi lecithotrophic atau planktotrophic larva veliger, yang ditandai dengan pembentukan velum. Setelah tahap planktonik singkat, tahap metamorfosis memungkinkan larva untuk memulai tahap merayap dan menetap pada habitat bentik. pada awal tahap juvenil akan melewati serangkaian tahap perkembangan untuk mencapai tahap dewasa. Ada beberapa Studi dari perkembangan larva abalone di seluruh dunia Namun, yang paling sering dikutip panduan untuk abalone perkembangan larva dilakukan pada abalone (Haliotis diskus hannai).
Abalon merupakan komoditas budidaya laut yang memiliki sifat pertumbuhan relatif lambat dan tingkat kelangsungan hidup rendah. Banyak faktor internal dan external yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup abalon, Performa genetik induk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas benih yang dihasilkan, karena terdapat pengaruh genotipe terhadap fenotipe seperti pertumbuhan, fekunditas, dan kelangsungan hidup yang lebih luas. Faktor lainya yang mempengaruhi pertumbuhan dan mortalitas larva adalah kualitas air, antara lain salinitas. Salinitas akan mempengaruhi proses metabolisme tubuh seperti proses pencernaan, pertumbuhan maupun sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit. Abalone H. asinina dari embrio sampai dewasa berkembang dan hidup dengan baik pada salinitas 30-36 ppt dan salinitas sangat berpengaruh terhadap pertumbuhannya. Salinitas 30-36 ppt sangat optimal terhadap kelangsungan hidup embrio dan spat abalon. Pemeliharaan larva abalon pada tingkat salinitas yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda-beda terhadap perkembangan metamorphosis larva abalone.
Didalam siklus hidup abalon terdapat masa transisi dari sifat planktonik ke pelagik melalui melekatnya larva ke substrat. Fase ini merupakan fase yang kritis dimana mempertahankan sintasan abalon setelah fase pelekatan merupakan tantangan terbesar dalam kegiatan pembenihan. Perkembangan larva terjadi secara bertahap, dimana pada setiap tahap perkembangannya memiliki ciri atau khas tertentu.
Abalon muda yang berumur 1 sampai 2 tahun banyak ditemui di perairan yang berarus sedang dengan kedalaman 0,5–1 m (Imai, 1977) dan pada karang serta bebatuan.
2.5.Pemberian Pakan pada Abalon (Haliotis sp.)
Pakan merupakan salah satu faktor yang penting dalam menunjang keberhasilan budidaya kerang abalone, kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Ketepatan jenis pakan yang diberikan menjadi pertimbangan utama dalam pemberian pakan. Abalon termasuk hewan hebivorous. Jenis pakan kerang abalone adalah seaweed yang biasa disebut makroalga, namun tidak semua dapat dimanfaatkan dengan baik sebagai sumber makanan. Saat ini, pakan yang terbaik yang diberikan adalah Gracilaria sp yang merupakan makanan favorit untuk kerang abalone. Selain Gracilaria sp, jenis seaweed yang yang lain juga dapat diberikan, seperti Ulva sp. Saat pemberian pakan, perlu diperhatikan kebersihan dan kesegaran pakan. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya predator-predator yang terbawa dan menghindari pakan yang hampir/telah mati yang nantinya akan membusuk dan menimbulkan racun bagi kerang abalone. Hal ini diperkuat oleh Susanto et al., (2010) menyatakan bahwa abalon termasuk hewan herbivorous sehingga dapat mengonsumsi rumput laut sebagai pakan. Jenis rumput laut yang digunakan sebagai pakan adalah Gracillaria maupun Ulva. Abalon dapat mencerna rumput laut karena memiliki enzim yang dapat melisis jaringan dinding sel rumput laut seperti enzim selulase dan pektinase atau secara komersial disebut macerozyme. Gracilaria merupakan makanan yang baik untuk perkembangan gonad induk abalon jenis Haliotis asinina.
Abalon memiliki fase-fase kritis dimana pada fase ini harus selalu di waspadai. Pakan harus selalu tersedia, karena pada fase kritis abalone mulai makan. Menurut Marzuqi et al. (2012), ketersediaan makanan bagi abalon yang baru memasuki masa post larva adalah penting, karena hal ini berkaitan dengan sintasannya atau kelulushidupan larva tersebut. Laju pertumbuhan pada fase hidup awal abalon bergantung pada ketersediaan makanan dan kemampuan masing-masing individu dalam memanfaatkan makanan yang tersedia. Tingkat kematian yang tinggi terjadi apabila benih abalon tidak segera memperoleh pakan yang sesuai, baik jenis maupun jumlahnya. Ketersediaan makanan bagi abalon yang baru memasuki masa post larvae adalah penting, karena hal ini berkaitan dengan kelangsungan hidupnya. Laju pertumbuhan pada fase hidup awal abalon bergantung pada ketersediaan makanan dan kemampuan masing - masing individu dalam memanfaatkan makanan yang tersedia Pemberian pakan pada larva abalon disesuaikan dengan sifatnya yakni benthic atau melekat pada dasar bak. larva abalon memanfaatkan yolk sac kuning telur& pada awal pemeliharaan, setelah kuning telur habis larva memanfaatkan pakan alami berupa nitzchia sp. Apabila pakan alami habis, maka dilakukan penambahan pakan alamidari kultur massal, cara penambahan pakan alami tersebut dapat dilakukan dengan menebar kembali inokulan diatom yang telah berumur 5-6 hari dengan menuang ke dalam bak pemeliharaan yang persediaan pakan alaminya telah habis. Penambahan terus dilakukan hingga larva berumur 1,5 bulan dan sudah bisa memakan rumput laut. Pakan yang diberikan untuk larva abalon adalah Nitzschia sp atau navicula sp yang diperoleh melalui kultur dilaboratorium yang kemudian ditebar ke bak pemeliharaan larva selama tiga minggu sebelum larva ditebar. Agar pakan alami dapat tumbuh dengan baik, maka pada bak pemeliharaan ditambahkan pupuk.
Persiapan pakan alami untuk larva, plankton adalah pakan alami yang disediakan melalui kultur di wadah terkontrol. Kultur plankton ada 3 tahapan: Skala Laboratorium, Semi Massal, dan Skala Massal. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan plankton: nutrien yng dibutuhkan, suhu, salinitas, pH, morfologi dan intensitas cahaya. Abalon merupakan hewan laut yang bersifat herbivora artinya hewan tersebut menyukai makanan berupa tumbuh-tumbuhan yang hidup di laut seperti rumput laut dari golongan makro alga merah (Gracilaria), makro alga coklat (Laminaria), dan makro alga hijau (Ulva). Menurut Susanto et al. (2010), bahwa abalon biasanya dipelihara dengan pemberian makanan berupa rumput laut segar dari jenis Gracilaria spp. dengan dosis berlebih (ad libitum) dan cara pemberian pakannya dilakukan dengan interval satu minggu. Sedangkan metode pembesaran abalon yang dilakukan secara terkontrol di Jepang diberi pakan berupa pelet dan seminggu sekali diberi pakan rumput laut. Rumput laut merupakan makro-alga yang mempunyai nilai kandungan EPA dan DHA yang cukup tinggi dan diperlukan bagi pertumbuhan manusia maupun hewan, dan baik juga untuk pertumbuhan abalon.
Abalon membutuhkan karbohidrat dalam pakan untuk proses pertumbuhan dan gametogenesis. Gracilaria sp. Memiliki kandungan karbohidrat dan kandungan protein yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan kelulushidupan (survival rate) abalone.  Menurut Rusdi et.al (2010) Pada umumnya pemberian pakan makroalga secara kombinasi menunjukkan rata-rata pertumbuhan yang lebih baik pada abalone dibandingkan dengan pemberian pakan makroalga secara tunggal. Pakan makroalga jenis Ecklonia yang dikombinasikan dengan Gracilaria, Gellidium, Ulva ataupun Porphyra mampu mempercepat pematangan gonad induk abalon H. midae. Perpaduan kandungan nutrisi yang terdapat dalam pakan makroalga yang dikombinasikan pada penelitian ini terlihat sangat mempengaruhi dalam memacu perkembangan gonad abalon H. squamata.
Seperti halnya saat budidaya ikan , pemberian pakan untuk abalon harus disesuaikan dengan tingkatan pertumbuhannya. Bentik diatom merupakan pakan yang harus diberikan pada larva (umur 1 bulan) sebelum diberi pakan rumput laut. Pada umur 60-75  juvenil abalon sudah harus diberi pakan jenis rumput laut. Pakan terbaik saat yuwana abalon adalah Grasillaria verrucosa. Pakan ini juga memberikan pengaruh pertumbuhan, konversi pakan dan efisiensi pakan terbaik.
Empat jenis rumput laut yang memiliki ketersediaan yang melimpah di laut yaitu: Ulva sp., Gracilaria sp. dari hasil budidaya di tambak, Gracilaria sp. dan Sargassum sp. Ke-empat rumput laut tersebut yang dalam keadaan segar  dapat dimanfaatkan oleh abalone sebagai sumber makanannya baik abalone alami di dalam laut maupun abalone hasil budidaya.
 Setelah dilakukan analisis proksimat diketahui bahwa kandungan yang terdapat di ke-empat rumput laut tersebut diantaranya :
Sumber : Giri et.al (2015)
Dari table tersebut maka dapat diketahui bahwa Ulva sp. merupakan  salah satu bahan baku pakan potensial untuk abalon. Karena Ulva sp memiliki kandungan protein yang paling tinggi diantara ke-empat rumput laut. Gracilaria sp. baik dari hasil budidaya di tambak maupun yang dari laut mempunyai kandungan protein (15,20%) dan (14,33%) jauh lebih rendah dibandingkan kandungan protein Ulva sp. Demikian juga halnya dengan Sargassum sp. yang kandungan proteinnya paling rendah (7,94%). Sargassum sp memiliki kandungan protein yang bervariasi tergantung dari spesiesnya. Sargassum sp juga dapat memberikan respon yang baik kepada abalone dengan jumlah yang tinggi. Hasil analisis dapat diketahui bahwa dari
keempat rumput laut pada percobaan tersebut mempunyai kandungan karbohidrat yang cukup tinggi (24,69%-50,57%). Abalon merupakan hewan herbivore maka karbohidrat dapat dijadikan sebagai sumber energi yang sangat baik bagi abalon.
            Pertumbuhan abalon yang diberi pakan yang berbeda atau campuran diantaranya maka juga akan menghasilkan pertumbuhan yang berbeda. Pertumbuhan abalon yang dinyatakan dengan bobot akhir, persentase pertambahan bobot, panjang cangkang dan lebar cangkang. Dengan pemberian pakan yang berbeda jenis maupun jumlahnya maka pertumbuhan abalone yang terjadi juga akan berbeda. Abalon yang diberi pakan dengan campuran tepung Ulva sp. dengan Gracilaria sp. tambak atau campuran tepung Gracilaria sp. tambak dengan Sargassum sp. memberikan pertumbuhan lebih baik dibandingkan dengan yang diberi campuran tepung rumput laut lainnya. Pertumbuhan paling rendah diperoleh pada abalon yang diberi pakan berupa campuran tepung Ulva sp. dengan Gracilaria sp. laut. Namun demikian pertumbuhan abalon yang diberi pakan Gracilaria sp. tambak segar menghasilkan pertumbuhan paling tinggi dibandingkan dengan semua perlakuan lainnya. Hal ini dapat menunjukkan bahwa masih ada permasalahan dalam pemanfaatan pakan buatan berupa pelet kering oleh
abalon.
Abalon yang dimanfaatkan untuk percobaan memang belum pernah diberikan pakan buatan, baik selama pemeliharaan larva maupun selama pendederan. Sehingga sebelum dimanfaatkan untuk percobaan diperlukan waktu yang relatif lama (satu bulan) untuk adaptasi terhadap pakan buatan. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa Gracilaria sp. tambak baik dalam bentuk segar maupun kering (tepung) mempunyai peran lebih signifikan dalam menunjang pertumbuhan abalon H. squamata. Tepung Ulva sp. selain sebagai bahan pakan, juga dilaporkan mengandung senyawa bioaktif dan antioksidan yang berperan menekan mortalitas akibat meningkatnya suhu air pada musim panas (Giri et.al.,2015)
            Abalon juga dapat memanfaatkan pakan buatan berupa pelet kering sebagai pakannya terutama pada abalone yang sudah dewasa atau tahap pembesara. Pemberian pakan buatan dalam bentuk pelet ini dapat memberikan respons pertumbuhan yang baik. Biasanya respons pertumbuhan abalone yang diberi pakan pelet kering dari bahan baku rumput laut masih lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi pakan Gracilaria sp. segar asal tambak. Namun demikian, pakan pelet kering dari campuran tepung rumput laut Gracilaria sp. tambak dengan Ulva sp. atau campuran Gracilaria sp. tambak dengan Sargassum sp. memberikan respons pertumbuhan yang baik. Diduga bahwa beberapa faktor yang menyebabkan respons pertumbuhan abalon yang diberi pelet kering ini kurang baik di antaranya adalah palatabilitas pelet dan komposisi nutrien pakan. Untuk itu, pada percobaan ini dibuat formula pakan dengan mengoptimalkan proporsi dari tepung rumput laut Ulva sp., Gracilaria sp. asal tambak dan Sargassum sp. dengan tujuan mendapatkan formula pakan berbahan baku rumput laut yang sesuai untuk mendukung budidaya pembesaran Abalon.
Frekuensi pemberian pakan dilakukan sebanayak 2 kali dalam sehari dengan jumlah 20-25% dari biomassa induk. Jika jumlah pakan masih memadai tidak dilakukan penambahan pakan, hal ini dilakukan agar tidak terjadi pembusukan pakan yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan abalon dan bisa mengakibatkan kematian pada induk abalon. Sebelum memberi makan sebaiknya rumput laut gracillaria sp di bersihkan menggunakan air mengalir agar tidak ada kotoran danhewan lain yang menempel seperti lumpur, teritip, keong dan udang. Pembesaran abalon masih memiliki hambatan dalam upaya meningkatkan produktivitasnya. Dalam pembesaran abalon dapat menggunakan pakan alami maupun pakan buatan. Pakan alami memiliki kekurangan yaitu sulitnya ketersediaan pakan, dan pakan buatan memiliki kekurangan dalam konfigurasi atau komposisi yang cukup diperlukan bagi abalon masih belum terpenuhi dengan baik.



DAFTAR PUSTAKA
Adimulya.R.A.,Onu.L.O dan Azhar.B.2016.Analisis Pendapatan dan Prospek Agribisnis Abalon (Haliotis Asinina) di Kabupaten Konawe dan Kota Kendari.1(1):85-97
Andriyanto, S., dan N. Listyanto. 2010. Manajemen Pemeliharaan Induk Abalon (Haliotis asinina) Hasil Tangkapan dari Alam. Jurnal Media Akuakultur. 5(2) : 162-168.
Azlan, L. O., A. B. Patadjai dan I. J. Effendy. 2013. Konsumsi Pakan dan Pertumbuhan Induk Abalon (Haliotis asinina) yang Dipelihara pada Closed Resirculating System dengan Menggunakan Berat Ulfa fasciata yang Berbeda sebagai Biofilter. Jurnal Mina Laut Indonesia. 2(6): 100-108.
Cook, P. A. dan H. R. Gordon. 2010. World Abalone Supply, Markets, and Pricing. Journal of Shellfish Research. 29(3): 569-571
Estes, J. A., D. R. Lindberg and C. Wray. 2005. Evolution of Large Body Size in Abalons (Haliotis): Patterns and Implications. Journal Paleobiology.

Humaidi.,Sri.R dan Restiana.W.A.2014.Pembesaran Siput Abalon (Haliotis squamata) dalam Karamba Tancap di Area Pasang Surut dengan Padat Tebar yang Bebeda.Journal of Aquaculture Management and Technologi.3(4):214-221
Litaay.M.,Karlina.S.,Risco.H.G dan Nur.H.2017. Potensi Abalon Tropis Haliotis asinine L. sebagai Sumber Inokulum Jamur Simbion Penghasil Antimikroba.Jurnal Spermonde. 3(1):42-46
Marzuqi,M. Ibnu, R. dan Bambang, S. 2012. Aplikasi Pakan Buatan pada Pemeliharaan Benih Abalon (Haliotis Squamata). Jurnal Riset Akuakultur. 7(2) : 237-245.
Nurfajrie, Suminto dan S. Rejeki. 2014. Pemanfaatan Berbagai Jenis Makroalga untuk Pertumbuhan  Abalon (Haliotis squamata) dalam Budidaya Pembesaran. Journal of Aquaculture Management and Technology.3(4):142-150.
Octaviany, M. J. 2007. Beberapa Catatan Tentang Aspek Biologi dan Perikanan Abalon. Oseana, Volume XXXII.
Praipue, P., S. Klinbunga dan P. Jarayabhand. 2010. Genetic Diversity of Wild and Domesticated Stocks of Thai Abalone, Haliotis asinina (Haliotidae), Analyzed by Single-Strand Conformational Polymorphism of AFLP-Derived Markers. Genetics and Molecular Research. 9(2): 1136-1152.

Rusdi.I.,Riani.R.,Bambang.S dan I Nyoman.A.G.2010.Pematangan Gonad Induk Abalon Haliotis squamata melalui Pengelolaan pakan. J.Ris.Akuakultur.5(3):383-391
Shobirin, M.R.,  I. Riyantini Dan T. Herawati. 2013. Studi Kelayakan Perairan untuk Pengembangan Budidaya Abalon (Haliotis asinina) di Perairan Sayang Heulang, Pameungpeuk, Garut. Jurnal Perikanan Kelautan. 4(4): 445-452. ISSN : 2088-3137.
Sinaga, D. S., Melky, dan D. E. D. Setyono. 2015. Studi Pertumbuhan Abalon Tropis (Haliotis asinina) dengan Pemberian Pakan Buatan yang Berbeda. Jurnal Maspari. 7(1) : 21-28.
Susanto, B., I. Rusdi, R. Rahmawati, I N. A. Giri dan T. Sutarmat. 2010. Pemeliharaan Yuwana Abalon (Haliotis squamata) Turunan F-1 Secara Terkontrol dengan Jenis Pakan Berbeda.J.Ris.Akuakultur.5(2):199-209.
Susanto, B., I. Rusdi, R. Rahmawati, I N. A. Giri dan T. Sutarmat. 2010.Aplikasi Teknologi Pembesaran Abalon (Haliotis squamata) dalam Menunjang Pemberdayaan Masyarakat Pesisir.Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur.295-304


 









Tidak ada komentar:

Posting Komentar