Jumat, 02 Maret 2018

Budidaya Ikan Berpotensi



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Di Indonesia, produksi abalon lebih banyak diperoleh dari tangkapan, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya pengambilan yang tak terkendali. Dimana abalon ini memiliki pertumbuhan yang sangat lambat, sehingga akan menimbulkan kelangkaan yang berakibat pada kepunahan. Oleh karena itu perlu adanya usaha untuk memelihara kerang abalon dalam lingkungan buatan yang terkontrol, serta menjadikan abalon komoditas budidaya yang dapat dikomersilkan menjadi usaha yang menguntungkan. Menurut sinaga, et al., 2015 bahwa permintaan dunia akan abalon di Indonesia terus meningkat sehingga membahayakan populasi abalon di Indonesia, karena produk abalon di Indonesia sampai saat ini utamanya masih dari hasil tangkapan di alam. Seiring dengan kondisi kualitas lingkungan perairan yang menurun dan disertai dengan permintaan pasar yang meningkat membuat habitat dari kerang abalon sendiri tercemar dan banyaknya explorasi terhadap kerang abalon sehingga hasil tangkapan kerang abalon menjadi menurun. Maka dari itu perlu adanya wawasan tentang penangkapan dan budidaya kerang abalon yang sustainable.

1.2. Tujuan
1.1  Mengetahui potensi Budidaya abalon (Haliotis sp.) ?
1.2  Mengetahui cara seleksi induk abalon (Haliotis sp.) ?
1.3   Mengetahui cara pemilihan lokasi abalon (Haliotis sp.) ?
1.4   Mengetahui cara penanganan larva abalon (Haliotis sp.) ?
1.5   Mengetahui cara pemberian pakan pada abalon (Haliotis sp.)?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Potensi Abalon
 
Abalon merupakan kelompok moluska laut yang lebih dikenal sebagai “kerang mata tujuh”. Ablon memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena abalon memiliki bentuk dan warna yang indah. Selain dagingnya, cangkang abalone juga dapat dimanfaatkan pada industri kancing perhiasan dan barang kerajinan lainnya. Menurut Adimulya et,al (2016) Abalon menjadi salah satu produk perikanan laut yang memiliki nilai ekonomis. Pangsa pasar abalon tidak hanya terbatas di dalam negeri namun juga di luar negeri. Permintaan komoditas abalon di pasar internasional terus mengalami peningkatan. Peningkatan permintaan abalon biasanya selalu diikuti dengan peningkatan harga. Selain itu, tingginya harga abalon juga disebabkan oleh terbatasnya volume produksi. Upaya pembenihan abalon telah dilakukan untuk mendukung kegiatan budidaya. Namun produksi benih yang dihasilkan di balai benih masih dalam skala kecil dengan tingkat keberhasilan 0,5-2 % dalam satu siklus pemijahan.
Abalon merupakan salah satu kerang yang menjadi kultivan budidaya yang berpotensi karena pada dasarnya permintaan pasar dari abalone sangat tinggi akan tetapi masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam, sehingga perlu adanya pengembangan  dalam budidaya abalone agar dapat memenuhi permintaan. Menurut Humaida et.al (2014) Permintaan komoditas ini di negara negara seperti Cina, Taiwan, dan Korea semakin meningkat. Namun untuk memenuhi permintaan tersebut sebagian masih dari alam sehingga menyebabkan populasi abalon di alam mengalami penurunan hingga mencapai 30% dari populasinya. Demi menjamin ketersediaan stok abalon diperlukan adanya suatu usaha pengembangan teknik budidaya, karena abalon sangat berpotensi untuk dibudidayakan dan diharapkan dapat memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat setiap tahun menjadi salah satu penyebab tingginya angka eksploitasi terhadap abalon. Sehingga kegiatan budidaya perlu dikembangkan secara intensif untuk memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat. Salah satu teknik budidaya saat ini yang dikembangkan adalah dengan menggunakan prinsip-prinsip budidaya secara intensif, dimana lahan yang digunakan terbatas, pemberian pakan yang teratur, dan mudahnya dilakukan kontrol terhadap lingkungan, sistem budidaya tersebut dikenal dengan budidaya keranjang atau karamba tancap.
Menurut Susanto et.al (2010) Abalone memiliki nlai jual yang tinggi karena di salah satu restoran dan hotel mewah di Jakarta abalone dalam sajian makanan mencapai harga Rp. 1.500.000.-/ porsi. Abalone dalam bentuk hidup dapat mencapai harga Rp.200.000,-/kg, jenis lainnya seperti jenis H. supertextra atau H. squamatadapat lebih mahal hingga mencapai Rp. 600.000,-/kg.
Tingginya permintaan juga dapat dikarenakan abalone memiliki nilai gizi yang tinggi. Menurut Litaay et.al (2017) Abalon tropis H. asinina L. merupakan salah satu gastropoda yang banyak dibudidayakan karena nilai protein yang tinggi dan kandungan kolestrol yang rendah. Kandungan nutrisi yang sangat baik untuk kesehatan membuat nilai ekonomis H. asinina L. meningkat. Nilai ekonomis H. asinina yang tinggi memberi pengaruh besar bagi yang mengkonsumsinya. Selain nilai ekonomis dan protein yang tinggi H. asinine L. memiliki senyawa metabolit sekunder yang dapat digunakan sebagai bahan antimikroba.
Menurut Sofyan,dkk (2005) dalam nurfajri, et al., (2014) daging abalon (Haliotis asinina) mempunyai gizi yang cukup tinggi dengan kandungan protein 71,99%; lemak 3,2%; serat 5,60%; abu 11,11% dan kadar air 0,60% serta cangkangnya mempunyai nilai estetika yang dapat digunakan untuk perhiasan, pembuatan kancing baju dan berbagai bentuk barang kerajinan lainnya. Selain nilai gizi yang tinggi, pengaruh prestise bagi yang mengkonsumsinya menyebabkan abalone memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal yang juga menarik dari budidaya abalon adalah bersifat low tropic level (larvanya memakan benthic diatom dan dewasanya memakan rumput laut/makroalga) dengan demikian dapat dikatakan biaya produksinya relatif murah. Konsekuensi logis dari pengembangan budidaya abalon adalah tersedianya benih dalam jumlah dan kontinuitas yang memadai.
Budidaya kultivan pada umumnya pertumbuhan dapat dipengaruhi oleh padat tebar yang diterapkan. Pada umumnya jika padat tebar terlalu tinggi maka akan menghambat pertumbuhan kultivan budidaya, akan tetapi pada abalone tidak berpengaruh pada padat penebaran. Abalone tidak memerlukan ruang yang luas untuk pergerakannya. Menurut Humaida et.al (2014) padat tebar yang lebih rendah pada kultivan akan memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan padat tebar yang lebih tinggi. Hasil perhitungan analisia sidik ragam diketahui bawah rata-rata pertumbuhan panjang RGR menunjukkan perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh. Padat tebar tersebut masih bisa ditolerir sehingga tidak mempengaruhi pertumbuhan abalone. Abalon tidak memerlukan ruang yang luas untuk pergerakannya. Hal ini menunjukkan bahwa padat tebar tidak berpengaruh terhadap nilai kelulushidupan. Abalon merupakan organisme yang habitat aslinya hidup pada perairan pasang surut yang berkarang sedikit berpasir pada penelitian ini pemeliharaan abalon dilakukan di habitat aslinya yaitu diperairan pasang surut.

2.2.Seleksi Induk

Seleksi induk merupakan tahap yang perlu dikarenakan dapat mempengaruhi hasil atau kualitas benih yang dihasilkan, sehingga diperlukan adanya seleksi induk denganmemilih induk yang berkualitas. Menurut Andriyanto dan Listyanto (2010), seleksi induk abalon sangat menentukan tingkat keberhasilan pemijahan dan penentuan tingkat kematangan gonad dapat dilakukan dengan mengukur panjang cangkang dan dengan melihat perkembangan gonadnya. Seleksi induk dilakukan 1–2 hari sebelum pemijahan atau empat sampai lima hari menjelang bulan gelap/bulan terang untuk menghindari terjadinya pemijahan lebih awal. Induk yang diseleksi adalah induk yang memiliki cangkang utuh atau tidak retak, tidak ada bekas luka pada bagian badannya, gerakannya lincah serta memiliki panjang badan 3,5–6 cm dan telah matang gonad. Induk yang telah diseleksi dan matang gonad memiliki panjang cangkang berkisar 3,0–4,0 cm untuk induk jantan dan 3,6–5,0 cm untuk induk betina, sedangkan bobot badan rata-rata adalah 46 g untuk induk jantan dan 53 g untuk induk betina. Induk betina memiliki panjang cangkang serta bobot badan lebih besar dibanding induk jantan. Perbedaan ukuran serta penurunan tingkat pertumbuhan ini berkaitan dengan pematangan gonad. Di mana induk jantan cenderung memiliki ukuran badan yang lebih kecil bila dibanding dengan induk betina, dikarenakan jantan mengeluarkan lebih banyak energi selama reproduksi dibanding dengan betina. Seleksi induk dengan menggunakan spatula di mana gonad induk jantan berwarna merah muda atau orange kekuningan, sedangkan induk betina berwarna hijau muda. Induk yang diseleksi telah matang gonad penuh (fully ripe) dengan ciri-ciri gonad menggembung terisi penuh telur dan persentase penutupan gonad terhadap kelenjar pencernaan pada induk yang matang gonad (fully ripe) adalah lebih dari 50%.
Gambar 2. Perbedaan warna gonad induk jantan dan betina
(sumber : Andriyanto dan Listyanto, 2010)

Induk alam yang baru datang diaklimatisasi selama kurang lebih 30 menit dan bila kondisi induk telah bergerak lincah dan menggeliatkan badannya menandakan proses aklimatisasi berhasil. Abalon dimasukkan dalam keranjang pemeliharaan induk dengan jumlah 30–35 ekor tiap keranjangnya. Hal ini dimaksudkan agar populasi abalon dalam keranjang tidak terlalu padat yang akan berpengaruh terhadap persaingan makanan, persaingan oksigen, dan juga persaingan substrat penempelan. Kepadatan optimum larva untuk budidaya dengan menggunakan bak di luar ruangan adalah sebanyak 50 ekor yuwana/m2 untuk panjang cangkang < 40 mm, sedangkan untuk yuwana dan induk dengan panjang cangkang > 40 mm maksimal sebanyak 38 ekor/m2. Priyambodo et al. (2005) dalam Andriyanto dan Listyanto (2010) menyatakan bahwa pemeliharaan induk terpisah antara jantan dan betina. Induk jantan dan betina dimasukkan dalam keranjang dengan warna yang berbeda untuk memudahkan dalam menyeleksi induk-induk matang gonad pada waktu pemijahan. Induk memerlukan substrat menempel berupa genting ukuran 30 cm x 22 cm dan potongan pipa PVC ukuran 8 inci berwarna hitam. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa genting lebih disukai sebagai substrat penempelan dibanding dengan potongan pipa PVC. Hal ini dapat dilihat dari persentase penempelan induk pada substrat genting lebih banyak dibandingkan substrat potongan pipa PVC. Andriyanto dan Listyanto (2010) yang menyatakan bahwa dalam perkembangan budidaya abalon, shelter yang pertama kali digunakan berupa genting. Di mana genting ini diletakkan dalam posisi terbalik yaitu bagian yang terbuka dihadapkan ke dasar/lantai. Pada perkembangan selanjutnya, digunakan shelter dari bahan PVC dengan diameter 20 cm. Bak yang digunakan untuk pemeliharaan induk adalah bak beton (ukuran 5 m x 1 m x 1 m) atau volume 5 m3. Ketinggian air pada setiap bak pemeliharaan induk berkisar 40–50 cm dilengkapi sistem air mengalir (flow through system) sehingga pergantian air dalam bak mencapai 200%.
Gambar 3. Keranjang pemeliharaan induk abalon
(sumber : Andriyanto dan Listyanto, 2010)

Melalui sistem air mengalir ini diharapkan ketersediaan oksigen selalu terjamin dan kotoran yang mengendap pada dasar bak akan terbawa menuju saluran outlet sehingga kebersihan bak akan tetap terjaga. Pembersihan bak dilakukan setiap hari atau maksimal dua hari sekali dengan menguras total air dalam bak, menyikat bak serta membersihkan kotoran serta sisa pakan. Andriyanto dan Listyanto (2010) menyatakan bahwa bak pemeliharaan induk harus selalu dibersihkan untuk mencegah pertumbuhan Copepoda, Nematoda serta bakteri lain yang membahayakan. Selain itu, sarana dan prasarana pembenihan perlu dicek agar tidak ada organisme pengganggu yang menempel dan mengganggu sirkulasi air.

2.3.Pemilihan Lokasi
Kerang abalone hidup pada daerah karang berpasir disekitar pantai dan jarang bahkan tidak terdapat dimuara sungai. Hal ini yang akan menjadi pertimbangan utama dalam memilih lokasi budidaya kerang abalone. Oleh karena itu, tidak semua lokasi dapat dijadikan sebagai tempat budidaya kerang abalone. Selain faktor lokasi, faktor yang sangat penting untuk dipertimbangkan adalah faktor keamanan. Faktor keamanan merupakan salah satu penentu dalam keberhasilan setiap kegiatan usaha yang dilakukan. Lokasi yang sangat ideal akan tetapi jika faktor keamanan tidak mendukung akan menimbulkan kerugian akibat dari pencurian dan hal ini akan mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Menurut Shobirin et al., (2013) identifikasi kelayakan sumberdaya lahan untuk pengembang budidaya laut penting artinya dalam penataan ruang daerah yang sesuai dengan peruntukannya sehingga terhindar dari konflik kepentingan baik antar sektor kelautan/perikanan maupun dengan sektor lain. Pemilihan lokasi untuk budidaya laut yang tepat dapat digunakan sebagai indikator awal keberhasilan usaha budidaya sesuai dengan jenis komoditas dan teknologi budidaya yang akan diterapkan.
2.4.Perkembangan Larva 

Perkembangan larva adalah tahap kritis di spesies laut yang berbeda, seperti moluska. Secara umum, perkembangan larva dari moluska dimulai dengan tahap dasar trochophore dan kemudian semakin berkembang menjadi lecithotrophic atau planktotrophic larva veliger, yang ditandai dengan pembentukan velum. Setelah tahap planktonik singkat, tahap metamorfosis memungkinkan larva untuk memulai tahap merayap dan menetap pada habitat bentik. pada awal tahap juvenil akan melewati serangkaian tahap perkembangan untuk mencapai tahap dewasa. Ada beberapa Studi dari perkembangan larva abalone di seluruh dunia Namun, yang paling sering dikutip panduan untuk abalone perkembangan larva dilakukan pada abalone (Haliotis diskus hannai). Abalon merupakan komoditas budidaya laut yang memiliki sifat pertumbuhan relatif lambat dan tingkat kelangsungan hidup rendah. Banyak faktor internal dan external yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup abalon, Performa genetik induk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas benih yang dihasilkan, karena terdapat pengaruh genotipe terhadap fenotipe seperti pertumbuhan, fekunditas, dan kelangsungan hidup yang lebih luas. Faktor lainya yang mempengaruhi pertumbuhan dan mortalitas larva adalah kualitas air, antara lain salinitas. Salinitas akan mempengaruhi proses metabolisme tubuh seperti proses pencernaan, pertumbuhan maupun sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit. Abalone H. asinina dari embrio sampai dewasa berkembang dan hidup dengan baik pada salinitas 30-36 ppt dan salinitas sangat berpengaruh terhadap pertumbuhannya. Salinitas 30-36 ppt sangat optimal terhadap kelangsungan hidup embrio dan spat abalon. Pemeliharaan larva abalon pada tingkat salinitas yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda-beda terhadap perkembangan metamorphosis larva abalon
Didalam siklus hidup abalon terdapat masa transisi dari sifat planktonik ke pelagik melalui melekatnya larva ke substrat. Fase ini merupakan fase yang kritis dimana mempertahankan sintasan abalon setelah fase pelekatan merupakan tantangan terbesar dalam kegiatan pembenihan. Perkembangan larva terjadi secara bertahap, dimana pada setiap tahap perkembangannya memiliki ciri atau khas tertentu.

2.5.Pemberian Pakan pada Abalon (Haliotis sp.)

Pakan merupakan salah satu faktor yang penting dalam menunjang keberhasilan budidaya kerang abalone, kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Ketepatan jenis pakan yang diberikan menjadi pertimbangan utama dalam pemberian pakan. Abalon termasuk hewan hebivorous. Jenis pakan kerang abalone adalah seaweed yang biasa disebut makroalga, namun tidak semua dapat dimanfaatkan dengan baik sebagai sumber makanan. Saat ini, pakan yang terbaik yang diberikan adalah Gracilaria sp yang merupakan makanan favorit untuk kerang abalone. Selain Gracilaria sp, jenis seaweed yang yang lain juga dapat diberikan, seperti Ulva sp. Saat pemberian pakan, perlu diperhatikan kebersihan dan kesegaran pakan. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya predator-predator yang terbawa dan menghindari pakan yang hampir/telah mati yang nantinya akan membusuk dan menimbulkan racun bagi kerang abalone. Hal ini diperkuat oleh Susanto et al., (2010) menyatakan bahwa abalon termasuk hewan herbivorous sehingga dapat mengonsumsi rumput laut sebagai pakan. Jenis rumput laut yang digunakan sebagai pakan adalah Gracillaria maupun Ulva. Abalon dapat mencerna rumput laut karena memiliki enzim yang dapat melisis jaringan dinding sel rumput laut seperti enzim selulase dan pektinase atau secara komersial disebut macerozyme. Gracilaria merupakan makanan yang baik untuk perkembangan gonad induk abalon jenis Haliotis asinina.
Abalon memiliki fase-fase kritis dimana pada fase ini harus selalu di waspadai. Pakan harus selalu tersedia, karena pada fase kritis abalone mulai makan. Menurut Marzuqi et al. (2012), ketersediaan makanan bagi abalon yang baru memasuki masa post larva adalah penting, karena hal ini berkaitan dengan sintasannya atau kelulushidupan larva tersebut. Laju pertumbuhan pada fase hidup awal abalon bergantung pada ketersediaan makanan dan kemampuan masing-masing individu dalam memanfaatkan makanan yang tersedia. Tingkat kematian yang tinggi terjadi apabila benih abalon tidak segera memperoleh pakan yang sesuai, baik jenis maupun jumlahnya.
Abalon merupakan hewan laut yang bersifat herbivora artinya hewan tersebut
menyukai makanan berupa tumbuh-tumbuhan yang hidup di laut seperti rumput laut dari golongan makro alga merah (Gracilaria), makro alga coklat (Laminaria), dan makro alga hijau (Ulva). Menurut Susanto et al. (2010), bahwa abalon biasanya dipelihara dengan pemberian makanan berupa rumput laut segar dari jenis Gracilaria spp. dengan dosis berlebih (ad libitum) dan cara pemberian pakannya dilakukan dengan interval satu minggu. Sedangkan metode pembesaran abalon yang dilakukan secara terkontrol di Jepang diberi pakan berupa pelet dan seminggu sekali diberi pakan rumput laut. Rumput laut merupakan makro-alga yang mempunyai nilai kandungan EPA dan DHA yang cukup tinggi dan diperlukan bagi pertumbuhan manusia maupun hewan, dan baik juga untuk pertumbuhan abalon.
Abalon membutuhkan karbohidrat dalam pakan untuk proses pertumbuhan dan gametogenesis. Gracilaria sp. Memiliki kandungan karbohidrat dan kandungan protein yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan kelulushidupan (survival rate) abalone.  Menurut Rusdi et.al (2010) Pada umumnya pemberian pakan makroalga secara kombinasi menunjukkan rata-rata pertumbuhan yang lebih baik pada abalone dibandingkan dengan pemberian pakan makroalga secara tunggal. Pakan makroalga jenis Ecklonia yang dikombinasikan dengan Gracilaria, Gellidium, Ulva ataupun Porphyra mampu mempercepat pematangan gonad induk abalon H. midae. Perpaduan kandungan nutrisi yang terdapat dalam pakan makroalga yang dikombinasikan pada penelitian ini terlihat sangat mempengaruhi dalam memacu perkembangan gonad abalon H. squamata.


BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan


  1. Abalon merupakan salah satu kerang yang menjadi kultivan budidaya yang berpotensi karena daging abalon (Haliotis asinina) mempunyai gizi yang cukup tinggi serta cangkangnya mempunyai nilai estetika yang dapat digunakan untuk perhiasan, pembuatan kancing baju dan berbagai bentuk barang kerajinan lainnya.
  2. Induk yang diseleksi adalah induk yang memiliki cangkang utuh atau tidak retak, tidak ada bekas luka pada bagian badannya, gerakannya lincah
  3. Kerang abalone hidup pada daerah karang berpasir disekitar pantai dan jarang bahkan tidak terdapat dimuara sungai 
  4. Didalam siklus hidup abalon terdapat masa transisi dari sifat planktonik ke pelagik melalui melekatnya larva ke substrat. 
  5.  Abalon termasuk hewan hebivorous. Jenis pakan kerang abalone adalah seaweed yang biasa disebut makroalga


DAFTAR PUSTAKA
Adimulya.R.A.,Onu.L.O dan Azhar.B.2016.Analisis Pendapatan dan Prospek Agribisnis Abalon (Haliotis Asinina) di Kabupaten Konawe dan Kota Kendari.1(1):85-97
Andriyanto, S., dan N. Listyanto. 2010. Manajemen Pemeliharaan Induk Abalon (Haliotis asinina) Hasil Tangkapan dari Alam. Jurnal Media Akuakultur. 5(2) : 162-168.
Humaidi.,Sri.R dan Restiana.W.A.2014.Pembesaran Siput Abalon (Haliotis squamata) dalam Karamba Tancap di Area Pasang Surut dengan Padat Tebar yang Bebeda.Journal of Aquaculture Management and Technologi.3(4):214-221
Litaay.M.,Karlina.S.,Risco.H.G dan Nur.H.2017. Potensi Abalon Tropis Haliotis asinine L. sebagai Sumber Inokulum Jamur Simbion Penghasil Antimikroba.Jurnal Spermonde. 3(1):42-46
Marzuqi,M. Ibnu, R. dan Bambang, S. 2012. Aplikasi Pakan Buatan pada Pemeliharaan Benih Abalon (Haliotis Squamata). Jurnal Riset Akuakultur. 7(2) : 237-245.
Nurfajrie, Suminto dan S. Rejeki. 2014. Pemanfaatan Berbagai Jenis Makroalga untuk Pertumbuhan  Abalon (Haliotis squamata) dalam Budidaya Pembesaran. Journal of Aquaculture Management and Technology.3(4):142-150.
Rusdi.I.,Riani.R.,Bambang.S dan I Nyoman.A.G.2010.Pematangan Gonad Induk Abalon Haliotis squamata melalui Pengelolaan pakan. J.Ris.Akuakultur.5(3):383-391
Shobirin, M.R.,  I. Riyantini Dan T. Herawati. 2013. Studi Kelayakan Perairan untuk Pengembangan Budidaya Abalon (Haliotis asinina) di Perairan Sayang Heulang, Pameungpeuk, Garut. Jurnal Perikanan Kelautan. 4(4): 445-452. ISSN : 2088-3137.
Sinaga, D. S., Melky, dan D. E. D. Setyono. 2015. Studi Pertumbuhan Abalon Tropis (Haliotis asinina) dengan Pemberian Pakan Buatan yang Berbeda. Jurnal Maspari. 7(1) : 21-28.
Susanto, B., I. Rusdi, R. Rahmawati, I N. A. Giri dan T. Sutarmat. 2010. Pemeliharaan Yuwana Abalon (Haliotis squamata) Turunan F-1 Secara Terkontrol dengan Jenis Pakan Berbeda.J.Ris.Akuakultur.5(2):199-209.
Susanto, B., I. Rusdi, R. Rahmawati, I N. A. Giri dan T. Sutarmat. 2010.Aplikasi Teknologi Pembesaran Abalon (Haliotis squamata) dalam Menunjang Pemberdayaan Masyarakat Pesisir.Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur.295-304