BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Di Indonesia, produksi
abalon lebih banyak diperoleh dari tangkapan, sehingga menimbulkan kekhawatiran
akan terjadinya pengambilan yang tak terkendali. Dimana abalon ini memiliki
pertumbuhan yang sangat lambat, sehingga akan menimbulkan kelangkaan yang
berakibat pada kepunahan. Oleh karena itu perlu adanya usaha untuk memelihara
kerang abalon dalam lingkungan buatan yang terkontrol, serta menjadikan abalon
komoditas budidaya yang dapat dikomersilkan menjadi usaha yang menguntungkan. Menurut
sinaga, et al., 2015 bahwa permintaan dunia akan abalon di Indonesia terus
meningkat sehingga membahayakan populasi abalon di Indonesia, karena produk
abalon di Indonesia sampai saat ini utamanya masih dari hasil tangkapan di
alam. Seiring
dengan kondisi kualitas lingkungan perairan yang menurun dan disertai dengan
permintaan pasar yang meningkat membuat habitat dari kerang abalon sendiri
tercemar dan banyaknya explorasi terhadap kerang abalon sehingga hasil
tangkapan kerang abalon menjadi menurun. Maka dari itu perlu adanya wawasan
tentang penangkapan dan budidaya kerang abalon yang sustainable.
1.2. Tujuan
1.1 Mengetahui potensi Budidaya abalon (Haliotis sp.) ?
1.2 Mengetahui cara seleksi
induk abalon (Haliotis sp.) ?
1.3 Mengetahui cara pemilihan lokasi abalon (Haliotis sp.) ?
1.4 Mengetahui cara penanganan larva abalon (Haliotis sp.) ?
1.5 Mengetahui cara pemberian pakan pada abalon (Haliotis sp.)?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.Potensi Abalon
Abalon merupakan kelompok moluska laut
yang lebih dikenal sebagai “kerang mata tujuh”. Ablon memiliki nilai ekonomis
yang tinggi karena abalon memiliki bentuk dan warna yang indah. Selain
dagingnya, cangkang abalone juga dapat dimanfaatkan pada industri kancing
perhiasan dan barang kerajinan lainnya. Menurut Adimulya et,al (2016) Abalon menjadi salah satu produk perikanan laut yang
memiliki nilai ekonomis. Pangsa pasar abalon tidak hanya terbatas di dalam
negeri namun juga di luar negeri. Permintaan komoditas abalon di pasar
internasional terus mengalami peningkatan. Peningkatan permintaan abalon
biasanya selalu diikuti dengan peningkatan harga. Selain itu, tingginya harga
abalon juga disebabkan oleh terbatasnya volume produksi. Upaya
pembenihan abalon telah dilakukan untuk mendukung kegiatan budidaya. Namun
produksi benih yang dihasilkan di balai benih masih dalam skala kecil dengan
tingkat keberhasilan 0,5-2 % dalam satu siklus pemijahan.
Abalon merupakan salah
satu kerang yang menjadi kultivan budidaya yang berpotensi karena pada dasarnya
permintaan pasar dari abalone sangat tinggi akan tetapi masih mengandalkan
hasil tangkapan dari alam, sehingga perlu adanya pengembangan dalam budidaya abalone agar dapat memenuhi
permintaan. Menurut Humaida et.al
(2014) Permintaan komoditas ini di negara negara seperti Cina, Taiwan, dan
Korea semakin meningkat. Namun untuk memenuhi permintaan tersebut sebagian
masih dari alam sehingga menyebabkan populasi abalon di alam mengalami
penurunan hingga mencapai 30% dari populasinya. Demi menjamin ketersediaan stok
abalon diperlukan adanya suatu usaha pengembangan teknik budidaya, karena
abalon sangat berpotensi untuk dibudidayakan dan diharapkan dapat memenuhi permintaan
pasar yang terus meningkat setiap tahun menjadi salah satu penyebab tingginya
angka eksploitasi terhadap abalon. Sehingga kegiatan budidaya perlu
dikembangkan secara intensif untuk memenuhi permintaan pasar yang terus
meningkat. Salah satu teknik budidaya saat ini yang dikembangkan adalah dengan
menggunakan prinsip-prinsip budidaya secara intensif, dimana lahan yang
digunakan terbatas, pemberian pakan yang teratur, dan mudahnya dilakukan
kontrol terhadap lingkungan, sistem budidaya tersebut dikenal dengan budidaya
keranjang atau karamba tancap.
Menurut Susanto et.al (2010) Abalone memiliki nlai jual
yang tinggi karena di salah satu restoran dan hotel mewah di Jakarta abalone
dalam sajian makanan mencapai harga Rp. 1.500.000.-/ porsi. Abalone dalam
bentuk hidup dapat mencapai harga Rp.200.000,-/kg, jenis lainnya seperti jenis H. supertextra atau
H. squamatadapat lebih mahal hingga mencapai Rp. 600.000,-/kg.
Tingginya
permintaan juga dapat dikarenakan abalone memiliki nilai gizi yang tinggi. Menurut
Litaay et.al (2017) Abalon tropis H.
asinina L. merupakan salah satu gastropoda yang banyak dibudidayakan karena
nilai protein yang tinggi dan kandungan kolestrol yang rendah. Kandungan
nutrisi yang sangat baik untuk kesehatan membuat nilai ekonomis H. asinina L.
meningkat. Nilai ekonomis H. asinina yang tinggi memberi pengaruh besar
bagi yang mengkonsumsinya. Selain nilai ekonomis dan protein yang tinggi H. asinine
L. memiliki senyawa metabolit sekunder yang dapat digunakan sebagai bahan
antimikroba.
Menurut Sofyan,dkk (2005) dalam nurfajri, et al., (2014) daging abalon (Haliotis
asinina) mempunyai gizi yang cukup tinggi dengan kandungan protein 71,99%;
lemak 3,2%; serat 5,60%; abu 11,11% dan kadar air 0,60% serta cangkangnya
mempunyai nilai estetika yang dapat digunakan untuk perhiasan, pembuatan
kancing baju dan berbagai bentuk barang kerajinan lainnya. Selain nilai gizi
yang tinggi, pengaruh prestise bagi yang mengkonsumsinya menyebabkan abalone memiliki
nilai ekonomis tinggi. Hal yang juga menarik dari budidaya abalon adalah
bersifat low tropic level (larvanya memakan benthic diatom dan dewasanya
memakan rumput laut/makroalga) dengan demikian dapat dikatakan biaya
produksinya relatif murah. Konsekuensi logis dari pengembangan budidaya abalon
adalah tersedianya benih dalam jumlah dan kontinuitas yang memadai.
Budidaya
kultivan pada umumnya pertumbuhan dapat dipengaruhi oleh padat tebar yang diterapkan.
Pada umumnya jika padat tebar terlalu tinggi maka akan menghambat pertumbuhan
kultivan budidaya, akan tetapi pada abalone tidak berpengaruh pada padat
penebaran. Abalone tidak memerlukan ruang yang luas untuk pergerakannya. Menurut
Humaida et.al (2014) padat tebar yang
lebih rendah pada kultivan akan memiliki pertumbuhan yang lebih cepat
dibandingkan padat tebar yang lebih tinggi. Hasil perhitungan analisia sidik
ragam diketahui bawah rata-rata pertumbuhan panjang RGR menunjukkan perlakuan
yang diberikan tidak berpengaruh. Padat tebar tersebut masih bisa ditolerir
sehingga tidak mempengaruhi pertumbuhan abalone. Abalon tidak memerlukan ruang
yang luas untuk pergerakannya. Hal ini menunjukkan bahwa padat tebar tidak
berpengaruh terhadap nilai kelulushidupan. Abalon merupakan organisme yang
habitat aslinya hidup pada perairan pasang surut yang berkarang sedikit
berpasir pada penelitian ini pemeliharaan abalon dilakukan di habitat aslinya
yaitu diperairan pasang surut.
2.2.Seleksi Induk
Seleksi induk merupakan
tahap yang perlu dikarenakan dapat mempengaruhi hasil atau kualitas benih yang
dihasilkan, sehingga diperlukan adanya seleksi induk denganmemilih induk yang
berkualitas. Menurut Andriyanto dan Listyanto (2010), seleksi induk abalon
sangat menentukan tingkat keberhasilan pemijahan dan penentuan tingkat
kematangan gonad dapat dilakukan dengan mengukur panjang cangkang dan dengan
melihat perkembangan gonadnya. Seleksi induk dilakukan 1–2 hari sebelum
pemijahan atau empat sampai lima hari menjelang bulan gelap/bulan terang untuk
menghindari terjadinya pemijahan lebih awal. Induk yang diseleksi adalah induk
yang memiliki cangkang utuh atau tidak retak, tidak ada bekas luka pada bagian
badannya, gerakannya lincah serta memiliki panjang badan 3,5–6 cm dan telah
matang gonad. Induk yang telah diseleksi dan matang gonad memiliki panjang
cangkang berkisar 3,0–4,0 cm untuk induk jantan dan 3,6–5,0 cm untuk induk
betina, sedangkan bobot badan rata-rata adalah 46 g untuk induk jantan dan 53 g
untuk induk betina. Induk betina memiliki panjang cangkang serta bobot badan
lebih besar dibanding induk jantan. Perbedaan ukuran serta penurunan tingkat
pertumbuhan ini berkaitan dengan pematangan gonad. Di mana induk jantan
cenderung memiliki ukuran badan yang lebih kecil bila dibanding dengan induk
betina, dikarenakan jantan mengeluarkan lebih banyak energi selama reproduksi
dibanding dengan betina. Seleksi induk dengan menggunakan spatula di mana gonad
induk jantan berwarna merah muda atau orange kekuningan, sedangkan induk betina
berwarna hijau muda. Induk yang diseleksi telah matang gonad penuh (fully ripe)
dengan ciri-ciri gonad menggembung terisi penuh telur dan persentase penutupan
gonad terhadap kelenjar pencernaan pada induk yang matang gonad (fully ripe)
adalah lebih dari 50%.
Gambar 2. Perbedaan warna gonad induk
jantan dan betina
(sumber : Andriyanto dan Listyanto,
2010)
Induk
alam yang baru datang diaklimatisasi selama kurang lebih 30 menit dan bila
kondisi induk telah bergerak lincah dan menggeliatkan badannya menandakan
proses aklimatisasi berhasil. Abalon dimasukkan dalam keranjang pemeliharaan
induk dengan jumlah 30–35 ekor tiap keranjangnya. Hal ini dimaksudkan agar
populasi abalon dalam keranjang tidak terlalu padat yang akan berpengaruh
terhadap persaingan makanan, persaingan oksigen, dan juga persaingan substrat
penempelan. Kepadatan optimum larva untuk budidaya dengan menggunakan bak di
luar ruangan adalah sebanyak 50 ekor yuwana/m2 untuk panjang
cangkang < 40 mm, sedangkan untuk yuwana dan induk dengan panjang cangkang
> 40 mm maksimal sebanyak 38 ekor/m2. Priyambodo et al. (2005) dalam Andriyanto dan
Listyanto (2010) menyatakan bahwa pemeliharaan induk terpisah antara jantan dan
betina. Induk jantan dan betina dimasukkan dalam keranjang dengan warna yang
berbeda untuk memudahkan dalam menyeleksi induk-induk matang gonad pada waktu
pemijahan. Induk memerlukan substrat menempel berupa genting ukuran 30 cm x 22
cm dan potongan pipa PVC ukuran 8 inci berwarna hitam. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa genting lebih disukai sebagai substrat penempelan dibanding
dengan potongan pipa PVC. Hal ini dapat dilihat dari persentase penempelan
induk pada substrat genting lebih banyak dibandingkan substrat potongan pipa
PVC. Andriyanto dan Listyanto (2010) yang menyatakan bahwa dalam perkembangan
budidaya abalon, shelter yang pertama kali digunakan berupa genting. Di mana
genting ini diletakkan dalam posisi terbalik yaitu bagian yang terbuka
dihadapkan ke dasar/lantai. Pada perkembangan selanjutnya, digunakan shelter
dari bahan PVC dengan diameter 20 cm. Bak yang digunakan untuk pemeliharaan
induk adalah bak beton (ukuran 5 m x 1 m x 1 m) atau volume 5 m3. Ketinggian
air pada setiap bak pemeliharaan induk berkisar 40–50 cm dilengkapi sistem air
mengalir (flow through system)
sehingga pergantian air dalam bak mencapai 200%.
Gambar 3. Keranjang pemeliharaan induk
abalon
(sumber
: Andriyanto dan Listyanto, 2010)
Melalui
sistem air mengalir ini diharapkan ketersediaan oksigen selalu terjamin dan
kotoran yang mengendap pada dasar bak akan terbawa menuju saluran outlet
sehingga kebersihan bak akan tetap terjaga. Pembersihan bak dilakukan setiap
hari atau maksimal dua hari sekali dengan menguras total air dalam bak,
menyikat bak serta membersihkan kotoran serta sisa pakan. Andriyanto dan
Listyanto (2010) menyatakan bahwa bak pemeliharaan induk harus selalu
dibersihkan untuk mencegah pertumbuhan Copepoda, Nematoda serta bakteri lain
yang membahayakan. Selain itu, sarana dan prasarana pembenihan perlu dicek agar
tidak ada organisme pengganggu yang menempel dan mengganggu sirkulasi air.
2.3.Pemilihan Lokasi
Kerang abalone hidup pada daerah
karang berpasir disekitar pantai dan jarang bahkan tidak terdapat dimuara
sungai. Hal ini yang akan menjadi pertimbangan utama dalam memilih lokasi
budidaya kerang abalone. Oleh karena itu, tidak semua lokasi dapat dijadikan
sebagai tempat budidaya kerang abalone. Selain faktor lokasi, faktor yang
sangat penting untuk dipertimbangkan adalah faktor keamanan. Faktor keamanan
merupakan salah satu penentu dalam keberhasilan setiap kegiatan usaha yang
dilakukan. Lokasi yang sangat ideal akan tetapi jika faktor keamanan tidak
mendukung akan menimbulkan kerugian akibat dari pencurian dan hal ini akan
mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Menurut Shobirin et al., (2013) identifikasi kelayakan sumberdaya lahan untuk
pengembang budidaya laut penting artinya dalam penataan ruang daerah yang
sesuai dengan peruntukannya sehingga terhindar dari konflik kepentingan baik
antar sektor kelautan/perikanan maupun dengan sektor lain. Pemilihan lokasi
untuk budidaya laut yang tepat dapat digunakan sebagai indikator awal
keberhasilan usaha budidaya sesuai dengan jenis komoditas dan teknologi
budidaya yang akan diterapkan.
2.4.Perkembangan Larva
Perkembangan larva
adalah tahap kritis di spesies laut yang berbeda, seperti moluska. Secara umum,
perkembangan larva dari moluska dimulai dengan tahap dasar trochophore dan
kemudian semakin berkembang menjadi lecithotrophic atau planktotrophic larva
veliger, yang ditandai dengan pembentukan velum. Setelah tahap planktonik
singkat, tahap metamorfosis memungkinkan larva untuk memulai tahap merayap dan
menetap pada habitat bentik. pada awal tahap juvenil akan melewati serangkaian
tahap perkembangan untuk mencapai tahap dewasa. Ada beberapa Studi dari
perkembangan larva abalone di seluruh dunia Namun, yang paling sering dikutip
panduan untuk abalone perkembangan larva dilakukan pada abalone (Haliotis diskus hannai). Abalon merupakan komoditas budidaya
laut yang memiliki sifat pertumbuhan relatif lambat dan tingkat kelangsungan
hidup rendah. Banyak faktor internal dan external yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup abalon,
Performa genetik induk merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas benih yang dihasilkan, karena
terdapat pengaruh genotipe terhadap fenotipe seperti pertumbuhan, fekunditas,
dan kelangsungan hidup yang lebih luas. Faktor
lainya yang mempengaruhi pertumbuhan dan mortalitas larva adalah kualitas air,
antara lain salinitas. Salinitas akan mempengaruhi proses metabolisme tubuh
seperti proses pencernaan, pertumbuhan maupun sistem pertahanan tubuh terhadap
penyakit. Abalone H. asinina dari embrio
sampai dewasa berkembang dan hidup dengan baik pada salinitas 30-36 ppt dan
salinitas sangat berpengaruh terhadap pertumbuhannya. Salinitas 30-36 ppt
sangat optimal terhadap kelangsungan hidup embrio dan spat abalon. Pemeliharaan
larva abalon pada tingkat salinitas yang berbeda akan memberikan respon yang
berbeda-beda terhadap perkembangan metamorphosis larva abalon
Didalam siklus hidup abalon terdapat masa transisi dari sifat
planktonik ke pelagik melalui melekatnya larva ke substrat. Fase ini merupakan
fase yang kritis dimana mempertahankan sintasan abalon setelah fase pelekatan
merupakan tantangan terbesar dalam kegiatan pembenihan. Perkembangan larva terjadi
secara bertahap, dimana pada setiap tahap perkembangannya memiliki ciri atau
khas tertentu.
2.5.Pemberian Pakan pada Abalon (Haliotis sp.)
Pakan merupakan salah
satu faktor yang penting dalam menunjang keberhasilan budidaya kerang abalone,
kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Ketepatan jenis pakan yang diberikan
menjadi pertimbangan utama dalam pemberian pakan. Abalon termasuk hewan
hebivorous. Jenis pakan kerang abalone adalah seaweed yang biasa disebut
makroalga, namun tidak semua dapat dimanfaatkan dengan baik sebagai sumber
makanan. Saat ini, pakan yang terbaik yang diberikan adalah Gracilaria sp yang merupakan makanan
favorit untuk kerang abalone. Selain Gracilaria
sp, jenis seaweed yang yang lain juga dapat diberikan, seperti Ulva sp. Saat pemberian pakan, perlu
diperhatikan kebersihan dan kesegaran pakan. Hal ini bertujuan untuk
menghindari adanya predator-predator yang terbawa dan menghindari pakan yang
hampir/telah mati yang nantinya akan membusuk dan menimbulkan racun bagi kerang
abalone. Hal ini diperkuat oleh Susanto et
al., (2010) menyatakan bahwa abalon termasuk hewan herbivorous sehingga
dapat mengonsumsi rumput laut sebagai pakan. Jenis rumput laut yang digunakan
sebagai pakan adalah Gracillaria maupun
Ulva. Abalon dapat mencerna rumput
laut karena memiliki enzim yang dapat melisis jaringan dinding sel rumput laut
seperti enzim selulase dan pektinase atau secara komersial disebut macerozyme.
Gracilaria merupakan makanan yang baik untuk perkembangan gonad induk abalon
jenis Haliotis asinina.
Abalon memiliki fase-fase kritis dimana pada fase ini harus
selalu di waspadai. Pakan harus selalu tersedia, karena pada fase kritis
abalone mulai makan. Menurut Marzuqi et
al. (2012), ketersediaan makanan bagi abalon yang baru memasuki masa post
larva adalah penting, karena hal ini berkaitan dengan sintasannya atau
kelulushidupan larva tersebut. Laju pertumbuhan pada fase hidup awal abalon
bergantung pada ketersediaan makanan dan kemampuan masing-masing individu dalam
memanfaatkan makanan yang tersedia. Tingkat kematian yang tinggi terjadi
apabila benih abalon tidak segera memperoleh pakan yang sesuai, baik jenis
maupun jumlahnya.
Abalon merupakan hewan laut yang bersifat
herbivora artinya hewan tersebut
menyukai makanan berupa tumbuh-tumbuhan yang hidup di laut
seperti rumput laut dari golongan makro alga merah (Gracilaria), makro alga
coklat (Laminaria), dan makro alga hijau (Ulva). Menurut Susanto et al. (2010), bahwa abalon biasanya
dipelihara dengan pemberian makanan berupa rumput laut segar dari jenis Gracilaria
spp. dengan dosis berlebih (ad libitum) dan cara pemberian
pakannya dilakukan dengan interval satu minggu. Sedangkan metode pembesaran
abalon yang dilakukan secara terkontrol di Jepang diberi pakan berupa pelet dan
seminggu sekali diberi pakan rumput laut. Rumput laut merupakan makro-alga yang
mempunyai nilai kandungan EPA dan DHA yang cukup tinggi dan diperlukan bagi
pertumbuhan manusia maupun hewan, dan baik juga untuk pertumbuhan abalon.
Abalon membutuhkan karbohidrat dalam
pakan untuk proses pertumbuhan dan gametogenesis. Gracilaria sp. Memiliki kandungan karbohidrat dan kandungan protein
yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan kelulushidupan (survival rate) abalone. Menurut
Rusdi et.al (2010) Pada umumnya
pemberian pakan makroalga secara kombinasi menunjukkan rata-rata pertumbuhan
yang lebih baik pada abalone dibandingkan dengan pemberian pakan makroalga
secara tunggal. Pakan makroalga jenis Ecklonia yang dikombinasikan
dengan Gracilaria, Gellidium, Ulva ataupun Porphyra mampu
mempercepat pematangan gonad induk abalon H. midae. Perpaduan kandungan
nutrisi yang terdapat dalam pakan makroalga yang dikombinasikan pada penelitian
ini terlihat sangat mempengaruhi dalam memacu perkembangan gonad abalon H.
squamata.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
- Abalon merupakan salah satu kerang yang menjadi kultivan budidaya yang berpotensi karena daging abalon (Haliotis asinina) mempunyai gizi yang cukup tinggi serta cangkangnya mempunyai nilai estetika yang dapat digunakan untuk perhiasan, pembuatan kancing baju dan berbagai bentuk barang kerajinan lainnya.
- Induk yang diseleksi adalah induk yang memiliki cangkang utuh atau tidak retak, tidak ada bekas luka pada bagian badannya, gerakannya lincah
- Kerang abalone hidup pada daerah karang berpasir disekitar pantai dan jarang bahkan tidak terdapat dimuara sungai
- Didalam siklus hidup abalon terdapat masa transisi dari sifat planktonik ke pelagik melalui melekatnya larva ke substrat.
- Abalon termasuk hewan hebivorous. Jenis pakan kerang abalone adalah seaweed yang biasa disebut makroalga
DAFTAR PUSTAKA
Adimulya.R.A.,Onu.L.O dan
Azhar.B.2016.Analisis Pendapatan dan Prospek Agribisnis Abalon (Haliotis Asinina) di Kabupaten Konawe
dan Kota Kendari.1(1):85-97
Andriyanto, S., dan N. Listyanto. 2010.
Manajemen Pemeliharaan Induk Abalon (Haliotis asinina) Hasil Tangkapan dari
Alam. Jurnal Media Akuakultur. 5(2) : 162-168.
Humaidi.,Sri.R dan
Restiana.W.A.2014.Pembesaran Siput Abalon (Haliotis
squamata) dalam Karamba Tancap di Area Pasang Surut dengan Padat Tebar yang
Bebeda.Journal of Aquaculture Management and Technologi.3(4):214-221
Litaay.M.,Karlina.S.,Risco.H.G dan Nur.H.2017.
Potensi Abalon Tropis Haliotis asinine L. sebagai Sumber Inokulum Jamur
Simbion Penghasil Antimikroba.Jurnal Spermonde. 3(1):42-46
Marzuqi,M.
Ibnu, R. dan Bambang, S. 2012. Aplikasi Pakan Buatan pada Pemeliharaan Benih
Abalon (Haliotis Squamata). Jurnal
Riset Akuakultur. 7(2) : 237-245.
Nurfajrie, Suminto dan S. Rejeki. 2014. Pemanfaatan
Berbagai Jenis Makroalga untuk Pertumbuhan
Abalon (Haliotis squamata) dalam Budidaya Pembesaran. Journal of
Aquaculture Management and Technology.3(4):142-150.
Rusdi.I.,Riani.R.,Bambang.S dan I
Nyoman.A.G.2010.Pematangan Gonad Induk Abalon Haliotis squamata melalui
Pengelolaan pakan. J.Ris.Akuakultur.5(3):383-391
Shobirin, M.R., I. Riyantini Dan T. Herawati. 2013. Studi Kelayakan Perairan untuk Pengembangan
Budidaya Abalon (Haliotis asinina) di Perairan Sayang Heulang,
Pameungpeuk, Garut. Jurnal Perikanan Kelautan. 4(4): 445-452. ISSN :
2088-3137.
Sinaga, D. S.,
Melky, dan D. E. D. Setyono. 2015. Studi Pertumbuhan Abalon Tropis (Haliotis asinina) dengan Pemberian
Pakan Buatan yang Berbeda. Jurnal Maspari. 7(1) : 21-28.
Susanto, B., I. Rusdi, R. Rahmawati, I
N. A. Giri dan T. Sutarmat. 2010. Pemeliharaan Yuwana Abalon (Haliotis squamata) Turunan F-1 Secara Terkontrol dengan Jenis
Pakan Berbeda.J.Ris.Akuakultur.5(2):199-209.
Susanto, B., I. Rusdi, R. Rahmawati, I
N. A. Giri dan T. Sutarmat. 2010.Aplikasi Teknologi Pembesaran Abalon (Haliotis squamata) dalam Menunjang Pemberdayaan Masyarakat
Pesisir.Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur.295-304